Sabtu, 19 November 2011

Apakah zaman “harus” menuntut kita??

Ketika itu, perjalanan saya dari semarang ke purwokerta.. mata tak dapat terpejam.. melihat sekitar.. mengingat beberapa jam sebelumnya ketika saya berkeliling kampus Undip, melihat keadaan, melihat perkembangan adik-adik saya, melihat gerak sahabat saya disana.. melihat ‘realitas’ di kota lain selain purwokerto yang ternyata yaa..hampir sama.
Pikiran saya berlari menuju masa itu..saat  para pendahulu dakwah negeri ini memulai semuanya... ditengah kondisi yang lebih berat, ditengah tantangan tirani dan rezim, dengan harga mahal yang harus di siapkan, karna tak hanya waktu, tenaga, pikiran dan harta saja yang harus dikeluarkan, tapi juga harus ‘menyiapkan’ nyawa untuk diserahkan di jalan dakwah..
Saya menggambarkan mereka—pendahulu2 dakwah negeri ini—dalam pikiran saya, bagaimana kemudian mereka mengencangkan ruhiyah, mengokohkan hati dan jiwa, mempererat ukhuwah, pengamalan dari ayat al qur’an dan hadist yang tak henti.. pendahulu kita itu nampaknya tak pernah bosan menimba ilmu, menambah pengetahuan keislaman, belajar...taaakk pernah bosan,,taaakk pernah merasa cukup..yah, karena kekuatan mereka saat itu adalah pada ruhiyah..
Selain itu, sepertinya harapan untuk tegaknya pengamalan nilai2 ilahiah di bumi indonesia begitu besaar, sehingga langkah mereka tak terhenti.. bergerak dan terus bergerak tak pernah mati.  Itu semua diselaraskan dengan penampilan dan akhlak yang luar biasa.. kita tahu beberapa sampelnya.. bagaimana akhlak beliau.. mempesona!
Lalu, pikiran saya kembali meloncat ke realitas sekarang... juga dari obrolan beberapa kali dengan ummahat dan mbak2 yang mengalami ‘masa peralihan’.. yah, katanya sekarang yaa sudah berubah.. aktivis dakwah sudah lebih banyak syuronya ketimbang dakwahnya.. aktivis dakwah masa kini juga terkenal—dalam pandangan beliau2—banyak rukhsahnya..hafalan tidak sesuai target dimaafkan, syuro telat, halaqoh mandeng, mentoring tersendat-sendat dimaklumi.. belum lagi interaksi ikhwan-akhwat yang kian ‘cair’ dengan alasan ikatan ukhuwah yang kuat.. kata beliau:”dulu ukhuwahnya juga erat, tapi bukan berarti ikhwan-akhwat menjadi sering bertemu, ngobrol akrab, bercanda..” beliau2 tak pernah menyalahkan..tapi saya menangkap satu hal: perbedaan.
Hari ini, memang zaman telah berubah. Hari ini dunia begitu hingar bingar oleh gemerlap kemewahan, kesenangan dan realitas yang lain. Hari ini, hey, justru dakwah yang dulu diusung pendahulu kita mulai akrab di masyarakat. Tidak lagi dianggap ekstrim, tak lagi dinilai eksklusif. Masyarakat sudah menerima dakwah ini..meski baru menerima, belum mengamalkan.
Eits, tapi tunggu dulu.. saya justru berpikir, meratanya dakwah kita jangan2 karena kita tlah ‘menurunkan dosis’ dalam berdakwah...atau menurunkan ‘standar2’ aktivis dakwahnya. Dan jangan jangan...kita sudah tidak dianggap ekstrim dan eksklusif karena memang kita tak lagi eksklusif dalam berislam..sudah tak ada bedanya antara da’i dan mad’u..sudah tak ada bedanya ikhwan-akhwat dengan cewek-cowok.  Astaghfirulloh...
Benarkah karna tuntutan zaman kita harus mengurangi jam tilawah kita? Karna tuntutan mempersiapkan agenda—konsep dan teknis—secara matang agar banyak peminatnya, agar banyak yang ikut serta dalam ‘agenda dakwah’ yang kita adakan?
Benarkah karna tuntutan zaman, akhwat kini mesti berpenampilan ‘sangat cantik’? kosmetik, jilbab tipis dan ‘baju gaul’ yang katanya ‘masih syar’i’? bernarkah karna tuntutan zaman juga, ikhwan kini mesti mengurangi ‘dosis’ ghaudul basharnya? Agar dapat menarik mad’u lebih banyak.. benarkah demikian?
Apakah zaman harus menuntut kita? Padahal zaman itu kita yang menciptakan bagaimana akan jadinya... bukankah zaman ini akan terus berubah, tapi asholah dakwah tak pernah berubah..dan bentuk kesetiaan pada Allah dan Rasul pun akan selalu tetap. Tak berubah. Wahai...apakah zaman harus menuntut kita menanggalkan pakaian taqwa yaa ukhti...? karna tuntutan zaman untuk karier, student exchange, atau bahkan karena suami kita nantinya bukan ‘ikhwan’? apakah zaman harus menuntut kita ukhti...ketika kita tampil menjadi tokoh publik, lantas mengurangi jarak berdekatan dengan teman2 lelaki? (aahh...ini nasehat buat sendiri...duibuqi--maaf..) apakah zaman harus menuntut kita mengurangi intensitas ke masjid yaa akhi...yaa ukhti...?? apakah zaman harus menyeret kita ke rumah makan mewah ketimbang silaturahim ke tempat  para sesepuh meminta nasehat? Atau zaman tlah mengharuskan kita lebih memilih “syuro” yg tidak urgen ketimbang menghadiri kajian rutin di masjid, atau belajar al qur’an, memperbaiki tajwid dan tahsin... atau apakah zaman tlah menuntutmu untuk tidak shalat berjamaah di masjid ya akhi?
Apakah karena zaman juga tlah menuntutmu untuk lebih concern meengadakan event besar ketimbang memperhatikan teman satu kelas yang tidak solat, berpacaran dan mencontek?? Bukankah itu problematika umat yang nyata di depan matamu ya akhi..ya ukhti...???!!
Semogaa kita bukan mereka yang tergusur oleh zaman, semoga kita bukan mereka yang tergerus oleh zaman, semoga hati dan jiwa kita lebih kuat dari zaman, lebih kokoh dari sekedar perubahan zaman.. memang kita akan menjadi “ghuroba”—yang terasing, tapi semestinya kita perlu merefleksikan sejenak: fleksibelitas kita, sudah tepatkah??


Purwokerto, 12 November 2011--inspirasi dari semarang

Tidak ada komentar: