Ketika itu, perjalanan saya dari semarang ke purwokerta..
mata tak dapat terpejam.. melihat sekitar.. mengingat beberapa jam sebelumnya
ketika saya berkeliling kampus Undip, melihat keadaan, melihat perkembangan adik-adik
saya, melihat gerak sahabat saya disana.. melihat ‘realitas’ di kota lain
selain purwokerto yang ternyata yaa..hampir sama.
Pikiran saya berlari menuju masa itu..saat para pendahulu dakwah negeri ini memulai
semuanya... ditengah kondisi yang lebih berat, ditengah tantangan tirani dan
rezim, dengan harga mahal yang harus di siapkan, karna tak hanya waktu, tenaga,
pikiran dan harta saja yang harus dikeluarkan, tapi juga harus ‘menyiapkan’
nyawa untuk diserahkan di jalan dakwah..
Saya menggambarkan mereka—pendahulu2 dakwah negeri ini—dalam
pikiran saya, bagaimana kemudian mereka mengencangkan ruhiyah, mengokohkan hati
dan jiwa, mempererat ukhuwah, pengamalan dari ayat al qur’an dan hadist yang
tak henti.. pendahulu kita itu nampaknya tak pernah bosan menimba ilmu,
menambah pengetahuan keislaman, belajar...taaakk pernah bosan,,taaakk pernah
merasa cukup..yah, karena kekuatan mereka saat itu adalah pada ruhiyah..
Selain itu, sepertinya harapan untuk tegaknya pengamalan
nilai2 ilahiah di bumi indonesia begitu besaar, sehingga langkah mereka tak
terhenti.. bergerak dan terus bergerak tak pernah mati. Itu semua diselaraskan dengan penampilan dan
akhlak yang luar biasa.. kita tahu beberapa sampelnya.. bagaimana akhlak
beliau.. mempesona!
Lalu, pikiran saya kembali meloncat ke realitas sekarang...
juga dari obrolan beberapa kali dengan ummahat dan mbak2 yang mengalami ‘masa
peralihan’.. yah, katanya sekarang yaa sudah berubah.. aktivis dakwah sudah
lebih banyak syuronya ketimbang dakwahnya.. aktivis dakwah masa kini juga
terkenal—dalam pandangan beliau2—banyak rukhsahnya..hafalan tidak sesuai target
dimaafkan, syuro telat, halaqoh mandeng, mentoring tersendat-sendat dimaklumi..
belum lagi interaksi ikhwan-akhwat yang kian ‘cair’ dengan alasan ikatan
ukhuwah yang kuat.. kata beliau:”dulu ukhuwahnya juga erat, tapi bukan berarti
ikhwan-akhwat menjadi sering bertemu, ngobrol akrab, bercanda..” beliau2 tak
pernah menyalahkan..tapi saya menangkap satu hal: perbedaan.
Hari ini, memang zaman telah berubah. Hari ini dunia begitu
hingar bingar oleh gemerlap kemewahan, kesenangan dan realitas yang lain. Hari
ini, hey, justru dakwah yang dulu diusung pendahulu kita mulai akrab di
masyarakat. Tidak lagi dianggap ekstrim, tak lagi dinilai eksklusif. Masyarakat
sudah menerima dakwah ini..meski baru menerima, belum mengamalkan.
Eits, tapi tunggu dulu.. saya justru berpikir, meratanya
dakwah kita jangan2 karena kita tlah ‘menurunkan dosis’ dalam berdakwah...atau
menurunkan ‘standar2’ aktivis dakwahnya. Dan jangan jangan...kita sudah tidak
dianggap ekstrim dan eksklusif karena memang kita tak lagi eksklusif dalam
berislam..sudah tak ada bedanya antara da’i dan mad’u..sudah tak ada bedanya
ikhwan-akhwat dengan cewek-cowok. Astaghfirulloh...
Benarkah karna tuntutan zaman kita harus mengurangi jam
tilawah kita? Karna tuntutan mempersiapkan agenda—konsep dan teknis—secara
matang agar banyak peminatnya, agar banyak yang ikut serta dalam ‘agenda
dakwah’ yang kita adakan?
Benarkah karna tuntutan zaman, akhwat kini mesti
berpenampilan ‘sangat cantik’? kosmetik, jilbab tipis dan ‘baju gaul’ yang
katanya ‘masih syar’i’? bernarkah karna tuntutan zaman juga, ikhwan kini mesti
mengurangi ‘dosis’ ghaudul basharnya? Agar dapat menarik mad’u lebih banyak..
benarkah demikian?
Apakah zaman harus menuntut kita? Padahal zaman itu kita
yang menciptakan bagaimana akan jadinya... bukankah zaman ini akan terus
berubah, tapi asholah dakwah tak pernah berubah..dan bentuk kesetiaan pada
Allah dan Rasul pun akan selalu tetap. Tak berubah. Wahai...apakah zaman harus
menuntut kita menanggalkan pakaian taqwa yaa ukhti...? karna tuntutan zaman
untuk karier, student exchange, atau bahkan karena suami kita nantinya bukan
‘ikhwan’? apakah zaman harus menuntut kita ukhti...ketika kita tampil menjadi
tokoh publik, lantas mengurangi jarak berdekatan dengan teman2 lelaki?
(aahh...ini nasehat buat sendiri...duibuqi--maaf..)
apakah zaman harus menuntut kita mengurangi intensitas ke masjid yaa akhi...yaa
ukhti...?? apakah zaman harus menyeret kita ke rumah makan mewah ketimbang
silaturahim ke tempat para sesepuh
meminta nasehat? Atau zaman tlah mengharuskan kita lebih memilih “syuro” yg
tidak urgen ketimbang menghadiri kajian rutin di masjid, atau belajar al
qur’an, memperbaiki tajwid dan tahsin... atau apakah zaman tlah menuntutmu
untuk tidak shalat berjamaah di masjid ya akhi?
Apakah karena zaman juga tlah menuntutmu untuk lebih concern
meengadakan event besar ketimbang memperhatikan teman satu kelas yang tidak
solat, berpacaran dan mencontek?? Bukankah itu problematika umat yang nyata di
depan matamu ya akhi..ya ukhti...???!!
Semogaa kita bukan mereka yang tergusur oleh zaman, semoga
kita bukan mereka yang tergerus oleh zaman, semoga hati dan jiwa kita lebih
kuat dari zaman, lebih kokoh dari sekedar perubahan zaman.. memang kita akan
menjadi “ghuroba”—yang terasing, tapi semestinya kita perlu merefleksikan
sejenak: fleksibelitas kita, sudah
tepatkah??
Purwokerto, 12 November 2011--inspirasi dari semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar