Sabtu, 19 November 2011

Optimisme itu...

Saya (alhamdulillah) sudah pernah beberapakali melakukan perjalanan, tidak jauh, hanya dari purwokerto-cilacap saat mudik, purwokerto-jogja saat mau hunting buku, purwokerto-semarang, malang dan bandung. Dan dari berbagai perjalanan yang saya alami, naik kendaraan umum itu menyenangkan (sekaligus menyebalkan, hehe). Dengan menaiki kendaraan umum, kita bertemu dan mau tak mau berinteraksi dengan orang lain, macam2 karakternya. Nah, trus, apa hubungannya sama judul optimis itu chat?hehe.. sabaarr..ntar saya jelasin maksudnyaJ
Saya beberapa kali bertemu dan mengobrol dengan teman duduk di bis atau kereta, pertama2 obrolan itu mengalir tentu dari pertanyaan “mau kemana mbak?” atau “bade tindak pundi bu?”, selanjutnya saya lebih senang sebagai pihak yang ‘diintrogasi’, ditanyain asal, kuliah dimana, ambil jurusan apa. Nah, di pertanyaan: ambil jurusan apa—itu yang menjadi cikal bakal judul diatas, hehe
Kebanyakan ketika saya menjawab “ambil pertanian” maka teman duduk saya akan memberikan gambaran yang ‘angker’ tentang lulusan pertanian, bilang temennya sekarang malah jadi guru SD, pegawai bank, kuliah lagi di UT, kerjanya jauh, susah, kecil prospeknya, banyak yang nganggur, de el el.. sebenernya denger kayak gitu saya pengin banget nonjok (ups, maap anarkhis, maksud saya, saya pengin nglemparin kepalan tangan saya ke jidat tu orang yang ngomong—nahlo, lebih parraah..ckckck..) tapi yaa, reaksi saya saat ‘digituin’ yaa cuma narik nafas panjaaaangg trus senyum masam sambil bilang “mungkin kebanyakan emang gitu sih mba..”, atau kalo udah sepuh yaa njawabnya..”oh, gitu njih bu..” (dalam hati mah, capee deh.. hari gini masih mimpi buruk pesimis dan menularkan pesimisme ke temen duduk di bis n kereta..zzztttt) tapi yasudahlah..saya tidak suka berdebat, apalagi kalau untuk membela diri, sebaiknya saya menyublimkan ‘rasa sakit hati’ saya dalam bentuk usaha, ikhtiar yang paling maksimal..sambil berdoa dalam hati dan tiap langkah... fuuuhhh...lepaskan saja perkiraan orang, lepaskan saja pesimisme orang lain.. walaupun, di rumah, ortu juga sama kayak gitu sihh.. rasanya kalo ngambil hati banget, hidup serasa sempit, mau kiamat tinggal hitungan detik, dan nafas udah kebirit-birit..(lebay. Pukuliinnn nyang nulis..tung tung, ampuuunn, hahaaa)
Nah, kemarin (lagi2 pas perjalanan pulang dr semarang), saya naik angkot dari terminal, mau ke kost rencananya (walaupun akhirnya nyangsang di sekre komsoed karena ada syuro:P). Ketemu sama ibu-ibu, di ajak ngobrol, ditanyain kuliah dimana. Saya mah udah siap2 sama reaksinya, bakalan dijatuhin lagi nih anak pertanian, tapi ternyata respon ibuk ini berbeda sekali: beliau mengacungkan jempol pada saya, bilang prospeknya oke di pertanian, tetep semangat belajar yang mantap. Oi, saya sungguh tak percaya, masih ada orang (yg notabene ibu2—sm kyk ibu saya) yang berpikir optimis dan mengalirkan semangat optimisme itu pada saya. Saat saya tanya balik kepada beliau “putranya sudah lulus kuliah semua bu?”.. jawab ibu itu..”puji tuhan..” hemm..nafas saya seketika tersendat2.. ibu ini non muslim, sementara  orang2 sebelumnya yang saya ceritakan adalah mbak2 pake kerudung, ibu2 pake penutup kepala, yang terlihat sbg seorang muslim..
Duhai..benarkah umat ini sudah sedemikian parah degradasi optimismenya, sampai2 saya menemukan rasa optimisme itu hanya tersisa pada umat lain.. padahal, jelas sekali Allah berfirman bahwa kita adalah umat terbaik (read QS;3;110), siapa yang meragukan kalimat itu? Itu langsung dari kalam Allah, itu langsung dari kalam Allah!!
Sukses sekali orang kafir—yahudi memporak porandakan kekuatan kita..ruh islam kita..jiwa kita.. Pantas saja negeri ini selalu begini... idul adha yang jadi ajang rebutan daging, ramadhan yang jadi ajang mengemis rame2, momen ujian tengah semester dan ujian semester yang penuh dengan kerjasama haram, contek-mencontek, dan lain lain.. pantas saja.. harapan itu nampaknya redup dalam hati para muslimin dan muslimat negeri ini..
Heumm... sedih nggak? Kalo sedih yuk sejenak kita berdoa : “Ya Allah, lindungi kami dari sifat putus asa, beri kekuatan pada kami agar tetap bertahan dalam keimanan kepada-Mu, berikan pada kami ber-ton2 rasa optimis..karena sungguh, kami tahu Engkau Maha Pemurah dan tak pernah menyiakan seedikiitpun ikhtiar kami..innalloha laa yuhliful mi’aad..

14 November 2011, Purwokerto--lagi2 inspirasi dari semarang

Apakah zaman “harus” menuntut kita??

Ketika itu, perjalanan saya dari semarang ke purwokerta.. mata tak dapat terpejam.. melihat sekitar.. mengingat beberapa jam sebelumnya ketika saya berkeliling kampus Undip, melihat keadaan, melihat perkembangan adik-adik saya, melihat gerak sahabat saya disana.. melihat ‘realitas’ di kota lain selain purwokerto yang ternyata yaa..hampir sama.
Pikiran saya berlari menuju masa itu..saat  para pendahulu dakwah negeri ini memulai semuanya... ditengah kondisi yang lebih berat, ditengah tantangan tirani dan rezim, dengan harga mahal yang harus di siapkan, karna tak hanya waktu, tenaga, pikiran dan harta saja yang harus dikeluarkan, tapi juga harus ‘menyiapkan’ nyawa untuk diserahkan di jalan dakwah..
Saya menggambarkan mereka—pendahulu2 dakwah negeri ini—dalam pikiran saya, bagaimana kemudian mereka mengencangkan ruhiyah, mengokohkan hati dan jiwa, mempererat ukhuwah, pengamalan dari ayat al qur’an dan hadist yang tak henti.. pendahulu kita itu nampaknya tak pernah bosan menimba ilmu, menambah pengetahuan keislaman, belajar...taaakk pernah bosan,,taaakk pernah merasa cukup..yah, karena kekuatan mereka saat itu adalah pada ruhiyah..
Selain itu, sepertinya harapan untuk tegaknya pengamalan nilai2 ilahiah di bumi indonesia begitu besaar, sehingga langkah mereka tak terhenti.. bergerak dan terus bergerak tak pernah mati.  Itu semua diselaraskan dengan penampilan dan akhlak yang luar biasa.. kita tahu beberapa sampelnya.. bagaimana akhlak beliau.. mempesona!
Lalu, pikiran saya kembali meloncat ke realitas sekarang... juga dari obrolan beberapa kali dengan ummahat dan mbak2 yang mengalami ‘masa peralihan’.. yah, katanya sekarang yaa sudah berubah.. aktivis dakwah sudah lebih banyak syuronya ketimbang dakwahnya.. aktivis dakwah masa kini juga terkenal—dalam pandangan beliau2—banyak rukhsahnya..hafalan tidak sesuai target dimaafkan, syuro telat, halaqoh mandeng, mentoring tersendat-sendat dimaklumi.. belum lagi interaksi ikhwan-akhwat yang kian ‘cair’ dengan alasan ikatan ukhuwah yang kuat.. kata beliau:”dulu ukhuwahnya juga erat, tapi bukan berarti ikhwan-akhwat menjadi sering bertemu, ngobrol akrab, bercanda..” beliau2 tak pernah menyalahkan..tapi saya menangkap satu hal: perbedaan.
Hari ini, memang zaman telah berubah. Hari ini dunia begitu hingar bingar oleh gemerlap kemewahan, kesenangan dan realitas yang lain. Hari ini, hey, justru dakwah yang dulu diusung pendahulu kita mulai akrab di masyarakat. Tidak lagi dianggap ekstrim, tak lagi dinilai eksklusif. Masyarakat sudah menerima dakwah ini..meski baru menerima, belum mengamalkan.
Eits, tapi tunggu dulu.. saya justru berpikir, meratanya dakwah kita jangan2 karena kita tlah ‘menurunkan dosis’ dalam berdakwah...atau menurunkan ‘standar2’ aktivis dakwahnya. Dan jangan jangan...kita sudah tidak dianggap ekstrim dan eksklusif karena memang kita tak lagi eksklusif dalam berislam..sudah tak ada bedanya antara da’i dan mad’u..sudah tak ada bedanya ikhwan-akhwat dengan cewek-cowok.  Astaghfirulloh...
Benarkah karna tuntutan zaman kita harus mengurangi jam tilawah kita? Karna tuntutan mempersiapkan agenda—konsep dan teknis—secara matang agar banyak peminatnya, agar banyak yang ikut serta dalam ‘agenda dakwah’ yang kita adakan?
Benarkah karna tuntutan zaman, akhwat kini mesti berpenampilan ‘sangat cantik’? kosmetik, jilbab tipis dan ‘baju gaul’ yang katanya ‘masih syar’i’? bernarkah karna tuntutan zaman juga, ikhwan kini mesti mengurangi ‘dosis’ ghaudul basharnya? Agar dapat menarik mad’u lebih banyak.. benarkah demikian?
Apakah zaman harus menuntut kita? Padahal zaman itu kita yang menciptakan bagaimana akan jadinya... bukankah zaman ini akan terus berubah, tapi asholah dakwah tak pernah berubah..dan bentuk kesetiaan pada Allah dan Rasul pun akan selalu tetap. Tak berubah. Wahai...apakah zaman harus menuntut kita menanggalkan pakaian taqwa yaa ukhti...? karna tuntutan zaman untuk karier, student exchange, atau bahkan karena suami kita nantinya bukan ‘ikhwan’? apakah zaman harus menuntut kita ukhti...ketika kita tampil menjadi tokoh publik, lantas mengurangi jarak berdekatan dengan teman2 lelaki? (aahh...ini nasehat buat sendiri...duibuqi--maaf..) apakah zaman harus menuntut kita mengurangi intensitas ke masjid yaa akhi...yaa ukhti...?? apakah zaman harus menyeret kita ke rumah makan mewah ketimbang silaturahim ke tempat  para sesepuh meminta nasehat? Atau zaman tlah mengharuskan kita lebih memilih “syuro” yg tidak urgen ketimbang menghadiri kajian rutin di masjid, atau belajar al qur’an, memperbaiki tajwid dan tahsin... atau apakah zaman tlah menuntutmu untuk tidak shalat berjamaah di masjid ya akhi?
Apakah karena zaman juga tlah menuntutmu untuk lebih concern meengadakan event besar ketimbang memperhatikan teman satu kelas yang tidak solat, berpacaran dan mencontek?? Bukankah itu problematika umat yang nyata di depan matamu ya akhi..ya ukhti...???!!
Semogaa kita bukan mereka yang tergusur oleh zaman, semoga kita bukan mereka yang tergerus oleh zaman, semoga hati dan jiwa kita lebih kuat dari zaman, lebih kokoh dari sekedar perubahan zaman.. memang kita akan menjadi “ghuroba”—yang terasing, tapi semestinya kita perlu merefleksikan sejenak: fleksibelitas kita, sudah tepatkah??


Purwokerto, 12 November 2011--inspirasi dari semarang

Jumat, 11 November 2011

aku mau pulang saja

terlihat bahagia, bahkan bak putri raja...
ah, itu kan yang terlihat mata... sungguhannya yang dirasa kan bisa berbeda... rumah sebesar itu yang sepi dan mencekam... juga tembok abstrak yang tak kunjung bisa diruntuhkan... standar yang kian hari kian meninggi yang terlampau menyesakkan untuk dituruti... juga tuntutan ini.. tuntutan itu....
waktu lama tak cukup juga buat belajar: adaptasi, menerima, menganggap tak terlalu serius...
makin lama.... makin bertahun, justru semakin merasa: itu bukan aku, ini bukan aku, aku tak mengenali diriku disini..takkan pernah.
semakin lama juga, semakin sedikit pilihan, semakin banyak sekat yang membataskan.. lagi pula siapa aku berani membantah..
aku tlah tumbuh dengan segala kelelahan, keletihan dan penatnya... aku tlah tumbuh dengan cucuran keringatnya... meskipun aku bukan darah dagingnya...
apalagi soal "pertemuan sengaja" itu...makin sesaakk rasanya dadaku... makinn tebaalll rasanya kabut itu...
trus mau gimana chat??ahh...tanya sendiri...bingung sendiri. buntu.
ingin memang tak selalu selaras dengan kenyataan... tapi kalo ingin kita disingkirkan untuk inginnya yg lain gimanaa tuuhh... hhhuuuuhhhhhhh.. (berat amat ni nafas yak..)
masalahnya tak sekedar ingin, tak sekedar ingin. hiks........
tapi inginnya beliau beliau juga kayaknya tak sekedar ingin...
aduuhhh...Gustii Pangeran... pripun....
makin jauuh.... makin ingin pergi, pulang ke rumah. rumah yang bener2 rumah. rumah tempat kelahiran, rumah tempat belajar merangkak dan berjalan, rumah yang mungkin menjadi tempat mengeja kata pertama: ummi
sekarang, detik ini, masiih nunggu balesan sms dari destiya sama kiki.... daripada besok ketemu, pertemuan yang konyol.. haha...
yang bikin aku sedih, semua ituu...yah urusan ini..efeknya luar biasa. aku cuekin pemira, komsoed bahkan temen2 di kelas.. putus asa..
Putus asa liat temen2 yang nyontek di kelas, putus asa dengan diriku sendiri yang gini2 aja, putus asa belum bisa jadi yang terbaik. Berani2nya aku putus asa... astaghfirulloh... astaghfirulloh...
urusan ini terlihat sepelee sekali... tapi serius efeknya..
aku mau pulang saja ayah... pulang ke rumah panggung kita.

#depan UPT, dibawah gerimis langit purwokerto










Rabu, 02 November 2011

Saya Muslim dan Saya Tidak Mencontek

Hari ini..(31 oktober 2011) adalah hari dimulainya ujian tengah semester yang pertama bagiku..
Kenapa pertama? Karna ini kali pertamanya aku ujian setelah hampir pindah kemarin..
Ini juga ujian pertamaku yang sungguh-sungguh... sungguh2 belajar dan mencoba tawakal..
Tentu ini bukan ujian pertamaku yang tanpa nyontek.. dari dulu..aku tak pernah punya ‘nyali’ untuk nyontek.. Nyaliku untuk jujur...
Semester lima, sekali lagi.. semester LIMA.. rasanya terlambaaattt sekali aku memulainya.. memulai untuk sungguh2... memulai merangkai mimpi dengan sungguh2... rasanya terlambaaaattt sekali... bahkan aku masih melihatnya abstrak, jauuuhhh...aku tak tahu bagaimana caranya...
Dan..ini juga bukan ujian pertama yang selalu membuatku merasa tersisih, aneh, terkucilkan dan dibenci semua orang...
Sejak dulu...tiap kali musim ujian..aku selalu terkucilkan... ya, apalagi alasannya kalau bukan karena: aku tidak mencontek.
Kejam sekalii rasanya dunia... “saya hanya ingin jujur dan mendapat nilai yang berkah..” tapi aku tahu, jauuh diluar ujian yang bener2 ujian...ujian lebih besar lagi adalah mempertahankannya.. sesulit apapun kondisinya, selapang apapun peluangnya.
Aku selalu berusaha jujur sejak ujian SD dahulu.. pelajaran agama yang mengajarkan “Allah Maha Melihat” selalu menggema dihatiku.. dan prestasiku cemerlang sampai SMP... tapi ujian itu datang ketika memasuki SMA..aku yang udik dari pelosok Cilacap memberanikan diri mendaftar SMA favorit di Purwokerta, SMA mana lagi selain SMA 1 Purwokerto... kompetisi yang begitu ketat dan lamanya aku beradaptasi menjadikan prestasiku redup bahkan gelap menghangus..belum lagi masa-masa ‘kebebasan’ karena tidak lagi diawasi belajarnya oleh ibu.. Jelas, ujiannya adalah: aku bisa dapat nilai bagus kalau “berani” mencontek teman yang cerdas saat ujian, atau sekedar menerima “jarkoman” jawaban yang sudah disekenariokan. Robb...hamba ingat pada titik itu hamba begitu putus asa..tapi tak berani untuk melanggar azzam sendiri... akhirnya aku cuek bebek pada prestasi. Dan itu berimplikasi pada saat aku memulai kuliah.. aku sebenarnya putus asa mencari “area bebas nyontek”.. aku putus asa mempertahankan prinsipku... sakiiit hatiku melihat teman2ku begitu leluasa mencontek.. bisa jadi ia belajar, bisa jadi tidak.. aku belajar, meski belum sungguh2 dan total..tapi aku tak pernah rela menjual keimananku untuk secarik kertas bernama “transkrip nilai”.
Dan jauh dari itu...aku sungguh tak rela mereka mencontek.. apakah langit mendengar resah keluhku?? Dunia akhirat aku tak rela.
Aku putus asa belajar..ketika dunia sama sekali tak melihat prosesnya...tak melihat usahaku..
Dan semester ini..aku akan lebih bersungguh-sungguh... aku akan lebih berusaha keras.. aku akan tunjukkan kesungguhanku pada Robb-ku...
Aku tahu, tak akan ada yang dilewatkan sedikiitpun atas ikhtiarku.. Allah melihatnya dan biar Allah yang membalas dengan caranya... semoga rasa sakit dihatiku bisa menggugurkan dosa...
Hamba mohon ampun belum bisa bergerak dengan tangan atas keadaan seperti ini Robb.. hamba mohon ampun karna baru berani lewat tulisan sederhana ini, juga baru berani mendesis berharap dan berdoa dalam hati.. semoga Engkau berkenan melimpahkan hidayah kepada kami...


Curhat seorang mahasiswa**