Airmata para dosen jatuh. Standing applause di
ruang teater Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta membahana. Diantara mereka sampai tidak ada
yang sanggup berdiri. Tiada kebanggaan dimiliki seorang dosen dan
keluarga menyaksikan ujian hidup sesosok mahasiswi dengan predikat
Indeks Prestasi (IP) tertinggi meski selama bertahun-tahun dihantam
keterbatasan. Sejarah telah tercatat. Melly dianugerahi Alumni Terbaik
FIDKOM 2010 pada saat pelepasan Wisudawan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta kendati selama ini hidup dengan satu kaki. Sebelah kakinya harus
diamputasi setelah penyakit kanker tulang menyerangnya di pertengahan
kuliah. Ya meski begitu, Melly tidak mau menyerah pada kenyataan. Ia
mendapat gelar cumlaude jauh di atas para mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa yang kedua kakinya masih lengkap.
Melly akhirnya keluar setelah memberi pidato sambutannya di ruangan
teater Profesor Aqib Suminto. Ia dipapah dengan kursi roda. Memang tidak
ada lagi gerak enerjiknya, tapi semua mahasiswa UIN mengelu-elukan
namanya. Lebih dari Ahmadinejad ketika mengunjungi UIN Jakarta 2008
silam. Sedangkan beberapa dosen masih terdiam, hanya lelehan air mata
turun dari keikhlasan hati melepas Melly dari UIN. Melly tersenyum,
tangannya terkepal. Di hatinya, ia puas berhasil membuktikan kepada
semua orang bahwa jarak antara keterbatasan diri dan kecintaan terhadap
ilmu lebih tipis dari kulit bawang!.
Perjalanan Awal Melly
Nama aslinya adalah Nurmeilita. Tipikal mahasiswi
berkerudung lebar yang tidak percaya bahwa hidup tidak bisa ditaklukan.
Bahwa satu-satunya cara menaklukan ketakutan adalah dengan
menghadapinya. Sayyid Quthb berkelamin feminim yang menyatakan lebih
baik mati daripada menyerah pada keterbatasan. Namanya kini tertanam
pada seluruh mahasiswa FIDKOM. Bahwa Allah, Kita, dan Arti Sebuah
Perjuangan adalah keniscayaan.
Alumni salah satu SMA Negeri favorit di Bekasi ini memang unik. Kalau
banyak jebolan SMA memilih untuk kuliah di kampus umum, Melly lebih
memilih kuliah di UIN. Itupun bukan di Fakultas Kedokteran, Sains, dan
MIPA. Ia memilih jalur Ilmu Dakwah dengan jurusan Konseling Islam.
Dengan akal yang masih polos, banyak orang bertanya padanya, “Mau cari
mati dengan gaya apa seorang siswa lulusan SMA masuk ke Fakultas
Keislaman di UIN yang ketat dalam studi keagamaan. Modal Rohis kuliah
disini belum cukup. Hasan Al Banna bisa menjadi Sartre di UIN.” Maklum
kala itu UIN Jakarta mendapat kekhawatiran tingkat tinggi setelah para
mahasiswa jurusan Akidah Filsafat di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
melakukan penistaan terhadap Allah. Kala itu stigma kampus kami berubah
dari Institut Agama Islam Negeri (sebelum menjadi UIN) diplesetkan
menjadi “Ingkar Allah Ingkar Nabi”. Cibiran itu terasa betul. Lebih
pedas dari cabai rawit sekalipun.
Melly kali pertama masuk UIN Jakarta pada tahun 2004. Memulai karir
sebagai mahasiswa semester satu seperti pada umumnya: polos, manut kata
senior dan pasrah mengikuti Program Pengenalan Studi dan Almamater
(Propesa atau Ospek sebagaimana kita mengenalnya). Saat tiba giliran
bagi tiap mahasiswa baru memberikan pandangan tentang jurusan barunya di
UIN, Melly tampil memberikan beberapa patah kata. Dari situ orang sudah
berkesimpulan bahwa Melly bukan orang sembarangan. Gaya bicaranya bukan
seperti anak SMA. Ia sudah berani membeberkan bahasa-bahasa ilmiah di
tiap kalimat pembukanya. Tampaknya ia sadar, ia bukan lagi anak remaja.
Detik-detik Menghadapi Ujian
Setelah berjalan satu tahun kedepan, Melly
berkembang menjadi mahasiswi UIN yang berbeda. Kecintaannya terhadap
ilmu membawanya menjadi mahasiswi yang melebihi usianya. Melly seperti
bukan mahasiswi UIN berumuran 19 tahun pada umumnya. Kecintaannya
terhadap ilmu membuatnya sering terlihat nongkrong di perpustakaan
ketimbang menghabiskan waktu di bioskop. Mengutak-atik isi buku daripada
larut dalam pergaulan semu.
Nilai semester awalnya selalu diatas 3,5. Berkat kecerdasannya,
sebagai presiden BEM (Sistem di UIN mengharuskan menyebut pemimpin BEM,
dengan sebutan presiden bukan ketua) saya mengamanahkannya untuk mengisi
pos Departemen Keilmuan. Sebuah departemen yang tentunya terhitung danger bagi
tiap-tiap BEM di UIN. Departemen ini harus aktif mengadakan seminar,
kuliah umum, pelatihan, hingga diskusi-diskusi mingguan yang temanya pun
tidaklah ringan. Selain tema ke-Islaman, beberapa kali kajian ini juga
membahas tentang Pendekatan Rasional Emotif, Behavioris, hingga
Logoterapi. Kami ingin mahasiswa memiliki framework seimbang antara kuat
dengan spirit keislaman tapi tidak awam jika suatau saat dihantam oleh
gagasan Barat. Dan Melly menikmati itu. Ia memang sangat menyukai
diskusi dengan nalar kritisnya yang tajam. Maklum Melly besar di Lembaga
Dakwah Kampus, ia memiliki framework Islam yang cukup kuat untuk tidak
begitu saja menerima pandangan di luar Islam.
Waktu berganti waktu, hingga kemudian Melly mulai mengidap penyakit
misterius. Teman-temannya tidak lagi melihatnya di kampus. Aura tidak
sedap mulai meliputi perasaan kami semua. Kabar angin tidak begitu jelas
memberitahu dimana keberadaan Melly saat itu. Hingga kemudian kami
mendapat informasi, Melly kini menderita kelumpuhan dalam arti
sebenarnya. Ya mahasiswi penikmat panjat gunung itu terbaring tidak bisa
kemana-mana. Kakinya terdiam tak dapat bergerak, sedangkan di dalam
kerudungnya kerontokan mulai meliputi mahkotanya satu per satu. Mata
kami tercengang mendengar berita menyakitkan itu.
Kawan-kawan kami pun kemudian bergegas mengunjunginya di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Setelah membuka pintu kamar,
rekan-rekan sekelas Melly menutup mulut kecilnya. Mereka jatuh haru
berderai air mata melihat sosok gadis enerjik dan periang tersebut telah
terkulai lemah. Sebagian civitas akademika mahasiswa Konseling Islam
tidak mampu berkata apa-apa. Jiwa kami terbungkam. Melly yang kami kenal
sebagai mahasiswi solehah sedang diberi ujian maha dahsyat oleh Allah.
Sampai-sampai kami beranggapan inikah akhir dari perjalanan hidup Melly?
Melihat beratnya ujian yang ia alami.
Ketegaran Seorang Pecinta Ilmu Yang Pantang Menyerah
Uniknya, keharuan dari para sahabat dengan cepat ia
tepis. Melly dengan gaya tomboynya menyadarkan kawan-kawan untuk tidak
bersusah payah menangisi dirinya. Melly adalah tipikal wanita tegar, ia
benci air mata. Apalagi sengaja disuguhkan untuk dirinya. Bahkan
berkali-kali Melly harus menyadarkan temannya bahwa ia tidak seburuk
yang kami perkirakan. Walau Melly sadar betul kankernya bisa merenggut
nyawanya sewaktu-waktu. “Tapi sumpah, Mel baik-baik aja kok.” ucapnya
menyiratkan ia tidak ingin kita semua larut dalam kesedihan panjang.
Di tengah keterbatasan itu, ada cita-cita yang tidak ikut lumpuh
seperti kakinya. Sekalipun kondisinya amat lemah, namun kecintaannya
terhadap ilmu membuatnya tetap ingin melanjutkan kuliah. Meski pada
akhirnya, ia harus siap menganggung beban: bolak-balik ke perpus, naik
lift dengan kursi roda, mengejar mata kuliah meski harus bertarung
dengan harapan!. Itu pun belum dihitung rasa sakitnya. Namun, bukan
Melly namanya jika menyerah pada kenyataan. Ia telah berikrar untuk
tidak menangis. Keinginan terkuatnya adalah memberikan kado manis kepada
Allah dan keluarga tercinta tentang makna terindah seorang pecinta
ilmu. Meski tak berapa lama lagi ia hanya memiliki satu kaki. Beberapa
kali ia sempat mendiskusikan skripsinya dengan saya. Kala itu saya
sendiri sudah dalam tingkat akhir menyelesaikan kuliah. saya memang
memiliki pengalaman diskusi panjang dengan Melly. Menurut penulis, Melly
adalah salah satu mahasiswi yang cukup berani hadir untuk diskusi
dengan mahasiswa yang lebih senior. Ia cukup “tahan” diajak untuk
menelanjangi psikoanalisis. Ya psikologi vulgar yang mengatakan tuhan
itu hanya hasil ilusi manusia.
Tidak hanya disitu, sebelumnya Melly sadar. Ia harus diuji kembali
oleh beberapa nilai kuliahnya yang belum ia ambil di semester tujuh.
Termasuk mata kuliah lainnya yang mesti mengulang di semester awal.
Hingga jika ditotal keseluruhan ada tujuh mata kuliah yang harus ia
ambil. Bayangkan di tengah kondisi kaki tak bisa digerakkan, ia tetap
rajin ke kampus menyelesaikan segala kekurangannya. Dan itu benar-benar
dilakukannya lebih dari ikhlas, meski jarak Bekasi-Ciputat terlalu jauh
bagi seorang perempuan yang diuji dengan keterbatasan. Namun sekali
lagi, kesabaran dan kekuatan memupuskan segala ketakutannya. Melly yakin
Allah akan memperlakukannya dengan baik, jika ia selalu berusaha dan
berdoa, meski ia kini berkursi roda.
Seiring berjalannya waktu, ujian Allah betul-betul menyentuh titik
terlemah tubuhnya. Melly harus menerima kenyataan pahit bahwa dokter
pengasuhnya di RSCM memberi tahu sang keluarga bahwa kaki si buah hati
harus segera diamputasi. Dengan penuh ketegaran, Melly memasrahkan
dirinya kepada Allah. Aktifis dakwah kampus ini bersiap hidup dengan
kaki pincang. Kanker bisa jadi adalah keladi yang menggagalkan
kehidupannya. Tapi Melly paham betul bahwa kita harus selalu berbaik
sangka kepada Allah. Melly boleh kecewa, tapi tidak untuk kecewa kepada
Allah.
Setelah operasi selesai dilaksanakan, Melly sadar dari pembiusannya.
Dengan kekuatan mentalnya, ia memberanikan diri mengangkat kepala untuk
melihat kakinya. Melly tersenyum meratapi sebelah kakinya telah
menghilang. Namun ia tetap tidak mau menyerah. Bagaimanapun hidup harus
terus berlanjut. Tak berapa lama ia kemudian mengerjakan segala tugas
kuliah di pembaringan RSCM. Ya tujuh mata kuliah yang belum sempat usai
ia ambil, karena keburu menjalani operasi. Semuanya berjalan beriringan
ditengah rintihannya menahan rasa sakit pasca operasi.
Setelah semua mata kuliahnya selesai, ujian kembali datang. Ia ingat
masih ada satu lagi hutangnya kepada kampus, yakni membuat skripsi.
Subhanallah lagi-lagi Melly tak putus asa. Ia sama sekali tak berniat
melempar handuk lalu memilih berkutat dengan rasa sakitnya. Bayangkan
Melly pun juga tidak memelas kepada pihak kampus agar ia dibebaskan dari
skripsi. Inilah yang melatarbelakangi saya tidak menyesal memberinya
posisi Departemen Keilmuan kepadanya saat saya menjadi ketua BEM. Bahkan
di BEM, Melly juga ikut membantu bidang departemen yang lain. Dalam
acara training motivasi, safari dakwah, mabit, pelatihan, ta’aruf
mahasiswa baru, dan sebagainya. Melly selalu hadir disitu. Ibarat kata
Melly selalu memberi semangat jika BEM kami “kurang darah”. Sampai
disitu, kami sama sekali tidak terfikir tentang bakal ujian apa yang
akan menimpanya. Tidak ada satupun tanda-tanda mengarah kesana.
Kado Terindah Dari Allah
Akhirnya dengan kerja kerasnya selama ini, Melly berhasil
menyelesaikan skripsi dengan baik. Semuanya dilakukan di kasur
pembaringan, lengkap dengan rasa sakit yang terus menggerogoti tubunya.
Keletihan pasca operasi dan proses menjalani Kemoterapi tiap harinya.
Melly kemudian menjalani Sidang Munaqosyah. Di hadapan para penguji,
ia menjelaskan tentang penelitiannya. Dosen tidak merasakan betapa di
tengah presentasinya, Melly sebenarnya menahan rasakan sakitnya. Senyum
Melly membuat orang lupa bahwa ia masih menjalani Kemoterapi secara
intens di RSCM. Semua keluarga hanya bisa bangga dalam hati betapa Melly
begitu trengginas menjawab pertanyaan penguji. Mereka bangga bukan
karena Melly adalah mahasiswi pintar, mereka bukan bangga karena sang
buah hati adalah bidadari cinta yang berhasil bertahan di tengah kondisi
tak berperi, tapi mereka bangga telah dikaruniai seorang buah hati yang
kuat imannya dan tak pernah sekalipun terlontar dari mulutnya tentang
arti kekecewaannya kepada Allah.
Sampai pada waktu setelah selesai sidang, ia tidak sadar bahwa nilai
skripsinya tergolong tinggi. Baginya, ia sudah cukup bersyukur dengan
bisa menyelesaikan skripsi ini. Namun sapa nyana, logika seorang Melly
masih jauh dibawah rencana Allah. Kejutan itu datang, saat ia diwisuda.
Melly mendapat kabar gembira bahwa ia telah berhasil mencatatkan dirinya
sebagai mahasiswa dengan indeks prestasi tertinggi di fakultas (cumlaude)
dan berhak atas gelar alumni terbaik. Ya mahasiswi satu-satunya dalam
sejarah UIN yang mendapatkan gelar mahasiswa terbaik meski hanya
memiliki satu buah kaki. Satu-satunya mahasiswa yang tidak memberi ruang
bagi air mata untuk menyerah. Melly adalah bukti bahwa tauhid bukan
sekedar kata kunci, tapi juga kata kerja. Kerja nyata untuk membangun
harapan kepada Allah setelah diuji dengan pemaknaan.
Saya mengucapkan tasbih berkali-kali. Bagaimana mungkin orang yang
saya kenal hidup dengan keterbatatsan, meski bolak-balik RSCM-Ciputat
untuk Kemoterapi, meski menahan sakit dalam mengerjakan skripsi, harus
tetap semangat meski harapan diguncang kenyataan, bisa memiliki IP cumlaude dan
menduduki peringkat IP tertinggi Se FIDKOM serta yakin Allah dibelakang
ini semua. Melly adalah kata. Fragmentasi keterpecahan rasa takut untuk
menjadi energi. Jangan pernah katakan tidak pada keterbatasan.
Ketika saya mengkonfirmasi kepada Ketua Jurusan apakah gelar terbaik
itu hanyalah kado dari Dekanat atas jerih payahnya selama ini. Ketua
Jurusan itu menampik dengan keras. Ia mengatakan bahwa Melly lulus
murni, tanpa ada bantuan keringanan nilai atas simpati dosen meski
secuil. Subhanallah. Inikah janji Allah atas seorang pecinta ilmu yang
mengerahkan segala daya ikhtiarnya hanya kepada Allah.
Kita mungkin kemudian mencoba bertanya, bagaimana dengan masa depan
Melly seterusnya. Sebagai seorang wanita, adalah lumrah bahwa mungkin
cinta adalah kata yang jauh jika melihat kondisinya. Saat itu saya
membuka HP dan mengirim pesan selamat kepadanya. Saya kemudian malah
terkejut saat diberi tahu bahwa ada bonus dari Allah untuk dirinya.
Bahwa ternyata ia telah menikah sesaat setelah dirinya diwisuda. Seorang
dosen dari IPB telah berhasil memikat hatinya. Subhanallah dengan
kondisi seperti ini, Melly masih sanggup menikah dan yakin bahwa
keadilan Allah adalah nyata.Saya kemudian bertanya-tanya inikah yang dijanjikan Allah tentang
orang-orang yang bersabar, tentang kisah orang-orang yang memakai
akalnya untuk berfikir, bukan untuk kecewa.
Betatapun Hancurnya Kita, Yakinlah Allah Tetap Bersama Kita.
Ikhwah fillah, ada satu fase dalam hidup kita,
betapa kekecewaan bisa menghadapkan kita pada jalan kenistaan. Kadang
ujian dan cobaan Allah menjadi buah bibir kita atas sumpah serapah kita
kepada Allahuta’ala. Ikhwah fillah, sadarlah, Allah akan menguji kita di
titik terlemah kita. Allah akan menyentuh di bagian terpenting yang
menjadi ciri ketidakberdayaan kita. Apakah itu kehilangan anggota tubuh
kita, kehilangan fungsi tubuh kita, hingga kehilangan daya tubuh kita.
Namun yakinlah ikhwah jika itu tidak dapat kita tanggulangi dengan hati
jernih, bukan tidak mungkin hal itu akan berdampak pada konten yang
lebih dalam lagi. Dimulai dengan kehilangan iman kita, kehilangan fungsi
iman kita, hingga kehilangan daya iman kita. Namun yakinlah ikhwah,
sekalipun Allah menguji di titik terlemah kita, Allah tidak akan tega
membiarkan hambaNya sampai betul-betul menjadi lemah.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al Baqoroh 286)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar