Cerita itu tentang Ani Komariah
Sriwijaya, seorang ibu rumah tangga asli Boyolali tapi tinggal di
bandung, lulusan ITB, yang pada 2006 lalu menggegerkan masyarakat karena
membunuh ketiga anaknya yang masih kecil dengan cara membekap mereka
dengan bantal sampai meninggal. Mungkin masih banyak yang ingat
kasusnya. Banyak yang mengira bahwa alasan pembunuhan itu adalah karena
Bu Ani depresi memikirkan masalah ekonomi dan mengkhawatirkan masa depan
anaknya yang suram. Bu Ani kemudian diputus bebas oleh pengadilan dan
diperintahkan untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Pak Faudzil
Adhim kebetulan tergabung didalam tim psikologi yang memeriksa kondisi
kejiwaan Bu Ani waktu itu, dan cerita latar belakang kenapa Bu Ani
memutuskan untuk mengakhiri hidup anak2nya inilah yang mengundang
kucuran airmata dan menegakkan bulu roma kami semua yang mendengarnya.
Bu Ani sendiri, boleh dibilang
adalah potret sempurna dari keberadaan seorang anak. Dari kecil sampai
lulus ITB, prestasi akademiknya selalu cemerlang. Pengalaman sosialnya
juga bagus. Intinya, dari luar dia merupakan anak yang diidam-idamkan
semua orangtua, titik. Ketika kemudian menikah dan menjadi seorang ibu,
dia juga tidak beda dengan ibu-ibu lainnya yang sangat menyayangi
anak-anaknya, segenap jiwa dan raga. Lantas kenapa dia sampai memutuskan
mengakhiri hidup anak-anaknya sendiri?? Sebelum mengungkapkan alasan
yang berhasil digali oleh tim psikologi yang memeriksanya, Pak Faudzil
menggambarkan suasana siang itu, ketika Bu Ani melaksanakan niat yang
sudah bulat diambilnya sejak beberapa waktu sebelumnya.
Siang itu si anak sulung Nadhif (6
tahun) baru pulang sekolah. Mungkin sekitar dhuhur, ketika sehabis
sholat Bu Ani menyambut kedatangan si sulung dengan senyum dan pelukan
sayang seperti biasa. Kemudian disiapkannya makan siang untuk Nadhif,
ditemaninya si sulung makan siang bersama adiknya Faras (3 tahun, si
anak tengah) . Si bungsu Umar (9 bulan) saat itu sedang tidur siang.
Sepanjang makan siang itu, Bu Ani
lebih banyak mengelus rambut anak2 dan menciumi kepala mereka daripada
hari-hari yang lain. Setelah selesai disuruhnya Nadhif dan Faras mandi.
Sehabis mandi, mereka diberi pakaian yang nyaman dan dibedak seluruh
tubuhnya sampai harum. Bu Ani kemudian menyuruh si sulung bermain di
ruangan lain sementara dia mengantar si tengah tidur siang di kamar.
(Aku tidak yakin yang mana diantara mereka yang lebih dulu diminta untuk
tidur siang, tetapi kurang lebih begitu kejadiannya, satu anak diantar
tidur siang dan yang lain bermain di luar kamar).
Bu Ani tak lupa mengajak si anak
membaca doa sebelum tidur, bahkan dengan lembut menyanyikan beberapa
lagu pengantar tidur yang diminta anaknya. Ketika kemudian dia yakin
bahwa si anak sudah tertidur pulas, diambilnya bantal dan
ditangkupkannya ke wajah anaknya tersebut….kuat-kuat….lama…
.cukup lama sampai nafas si anak berhenti…
Kemudian Bu Ani memanggil si anak
lain yang sedang bermain di luar kamar. “Ayo, temani saudaramu tidur
siang nak…” Dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama diantarkannya
si kecil ke hangatnya tidur siang dan mimpi yang indah… Dan Bu Ani
sekali lagi mengambil bantal untuk ditangkupkan ke wajah si kecil… Si
kecil pun kembali meregang nyawa tepat disamping saudara yang tanpa
sepengetahuannya sudah lebih dulu meninggalkannya.
Dan terakhir, si bungsu Umar, yang
masih bayi dan terlelap tidur pun, kemudian menyusul kedua
kakaknya…meregang nyawa didalam pelukan Bu Ani…
***
Kisah diatas sangat mengerikan buat
kita semua, tentu saja… Tetapi kalau ada yang lebih mengerikan adalah
alasan Bu Ani melakukannya. Kalau melihat latar belakang pendidikannya,
tentu hal seperti ini kurang masuk akal. Seharusnya Bu Ani sebagai
seseorang yang berpendidikan tinggi, lebih bisa mengatasi tekanan mental
maupun emosi didalam dirinya. Tetapi apa yang dialaminya (seperti yang
diceritakan oleh Pak Fauzdil di PSC) ternyata memang sangat besar, jauh
lebih besar daripada yang kami semua kira.
Setelah melewati penggalian yang lama dan dalam oleh tim psikologi, terungkap alasan sebenarnya dibalik keputusan Bu Ani…
Ani Komariah, dari luar memang
potret anak yang sempurna. Tetapi sangat ironis dan dramatis,
kecemerlangan dirinya dihadapan semua orang, ternyata tidak bisa dilihat
oleh si Ani terpancar keluar dari mata ibu kandungnya sendiri. Ibunda
dari Ani, diceritakan tidak pernah merasa puas dengan apapun yang
dicapai oleh putrinya. Dan sang Ibu adalah tipe wanita yang SANGAT
PENGOMEL!! Sekeras apapun Ani berusaha memberikan yang terbaik dalam
hidupnya, tetap saja yang dia dapat ketika pulang adalah omelan tidak
puas dari ibunya. Sebanyak apapun nilai A yang dia dapat, begitu
berhadapan dengan ibunya langsung menjadi tidak berarti karena akan
selalu dibandingkan dengan prestasi teman lain yang nilai A nya lebih
banyak. Setinggi apapun prestasi yang dicapai Ani, yang dilihat sang Ibu
adalah orang lain yang berprestasi lebih tinggi lagi. Omelan demi
omelan tanda ketidakpuasan, sepertinya hanya itu yang Ani dapat selama
dia tumbuh dewasa. Dan itu merupakan sebuah luka yang besar yang
kemudian berurat akar dalam dirinya.
Ketika Ani menikah serta melahirkan
ketiga anak-anaknya, omelan-omalen tak puas dari sang ibu bahkan sama
sekali bukanlah yang terburuk yang bisa terjadi…
Selama mendidik putra-putrinya,
pelan-pelan Ani belajar dan menyadari bahwa kebiasaan ibunya mendidik
dia dulu, tanpa sadar seringkali dilakukannya pada anak-anaknya. Sekeras
apapun niatnya untuk bertekad tidak mau meniru cara mendidik ibunya
yang penuh omelan tak puas itu, tetapi sesering itu juga tanpa
disadarinya, itu terjadi… Anaknya tumbuh dengan omelan yang (walaupun
tidak sebanyak dirinya, tetapi) mirip dengan yang selalu diterimanya
dulu dari sang ibu…
Ani kemudian belajar dan menemukan
bahwa luka yang ditorehkan sang ibu didalam hidupnya, tak mungkin
terhapuskan… Lebih buruk lagi, kemudian dia memutuskan bahwa luka itu
menular, menurun dan melukai anak-anaknya juga… Luka yang kali ini dia
timbulkan sendiri…. Dia torehkan tanpa sadar kedalam hidup anak-anak
yang dicintainya… Luka yang menyebar dengan kuat, bahkan tekad bulatnya
yang kuat untuk menjadi ibu yang baik pun, tak kuasa menghentikannya…
Sebagai seorang ibu, Ani merasa
bahwa dia adalah ibu yang sudah terlanjur terlaknat. Terlaknat oleh luka
dan kebiasaan buruk tak tersembuhkan yang sudah kadung ditorehkan
ibunya dulu. Dan lebih buruk lagi, sekarang, tanpa dia sadari dan bisa
hentikan, dia akan mencetak 3 calon orangtua yang terlaknat juga, yaitu
anak-anaknya. Ani merasa nanti ketika anak2nya sudah menjadi orangtua,
tanpa sadar mereka pasti akan mewarisi caranya memperlakukan anak-anak,
sekeras apapun mereka mungkin akan mencoba menghentikannya.
Tak terbayangkan oleh Ani nasib cucu
dan keturunannya, kalau luka ini akan terus menjalar turun kepada
keturunannya. Kalau omelan-omelan jahanam itu akan terus menelan korban,
melukai hidup banyak orang karena tidak bisa dihentikan penularannya.
Melukai banyak orang yang kemudian hanya akan berakhir sama, menjadi
penyebar dan pembawa kebiasaan terkutuk itu…
Konon, Bu Ani masih mengakui betapa
cintanya dia pada sang bunda… Tetapi pada akhirnya, sebagai seorang ibu
yang juga sangat mencintai Nadhif, Faras dan Umar, Bu Ani memutuskan
bahwa dia tidak sanggup lagi mencintai anak-anaknya… Tidak dengan cara
seperti itu…
cara mencintai yg salah.. terkadang, menjadi takut menjadi ibu, setidaknya dalam waktu dekat ini. terkadang teramat rindu, tapi.. ah,mungkin kisah ibu diatas adalah kisah seorang manusia yg tidak mengenal dirinya, juga tidak mengenal Tuhannya, dan juga tidak mengenal tarbiyah
Allah..save me please.. until the end, until the last breath...
saya minta maaf untuk yg sering kecipratan cara saya mencintai yang salah, saya memang penuntut..dan tidak sabaran..
semoga Allah terus mampukan saya utk belajar dan memperbaiki diri..
:')
surga memang mahal..
1 komentar:
penting untuk berjuang dalam jalan da'wah adalah sabar, memaafkan dan rendah hati.
hamasah mba :):):)
Posting Komentar