Selasa, 24 November 2009

Aku mau menikah

“aku mau menikah....”
Gadis itu hanya diam, kemudian tersenyum (sedikit memaksa), “oh...selamat yah, kapan walimahannya?”
“ee..bulan depan” sambil tertunduk pemuda itu menjawabnya.
Hhh, sebenernya nggak tega nyritain kisah ini.
Pemuda itu berumur 26 tahun dan gadis itu berumur 19 tahun, si pemuda sudah bekerja di kota besar, sementara gadis itu masih kuliah.
Mereka adalah dua sejoli yang pernah dekat, yah seperti dua sejoli. Mereka pernah makan bareng, jalan bareng, pertemuan keluarga. Kadang pemuda itu menjemput gadis itu saat pulang sekolah. Pemuda itu bernama Ibnu Jauza, abang Inu biasanya si gadis memanggil. Gadis itu bernama Zalfa Nada Firdausa.
Melihat kedekatan mereka sebenarnya mudah sekali melihat isi hati mereka, sikap yang kikuk ketika bertemu, wajah merah ketika berbincang, aaah...siapapun yang memperhatikan pasti tahu isi hati mereka. Yah, mereka saling mencintai,, oh..belum terlalu jauh, Nada masih terlalu kecil untuk memahami cinta waktu itu, ia masih SMP, masih anak sekolahan, meskipun ia tahu betul perasaannya sangat nyaman jika di dekat abang Inu.
Ibnu Jauza, seorang pemuda yang mandiri, ia sudah belajar memahami takdir hidup sejak kecil, menyadari betul jika keluarganya miskin. Ibnu Jauza mengenal Nada bukan di jalanan, mereka masih terhitung saudara, saudara jauh. Dan ketika ‘menemukan’ Nada, pencariannya akan jodoh ia hentikan, ia merasa sudah menemukan.
Ah, Nada waktu itu masih kecil,,ia belum berpikir sejauh itu, waktu itu usia Ibnu masih 21 tahun.
Hingga bulir waktu terus saja menggelinding,, Nada tlah tumbuh menjadi seorang gadis yang sholihah, menutup auratnya dengan sempurna. Matanya bening, sejernih hatinya melihat hidup yang ia jalani.
Sebenarnya Ibnu Jauza pun bukan seorang yang buta agama, ia malah seorang ikhwan. Hanya kadang penampilannya emang suka nggak ngikhwanin. Melihat perkembangan ‘adik perempuannya’ itu, hatinya makin tenteram, yakin untuk melangkah lebih jauh, tinggal menunggu waktu yang tepat. Setiap kali ditanyakan calon isteri, hanya dengan senyum tersungging kemudian menoleh pada Nada ia menjawab, “Insya Allah udah ada, mohon doanya saja”..sementara yang ditoleh tak mengerti apa2, dengan muka polos Nada ikutan nyengir, “amin, moga2 cepet dikenalin ya ke Nada sama Ibu”
Tiba2 penjelasan itu datang, melesat cepat bak komet yang akan melintasi bumi. Ibnu Jauza tak mampu berbuat lebih jauh lagi, ia tak mungkin melangkah lagi, seyakin apapun hatinya, sejauh apapun ia telah menyiapkan semuanya. Akhirnya, tanpa mau menyakiti, Ibnu Jauza pergi,, tidak seperti dulu ketika ia pergi maka serangkaian pesan dari Nada akan diterimanya, rangkaian doa akan ia dengarkan sebelum melaju meninggalkan ‘adiknya itu’.. maka kali ini, tak ada rangkaian pesan itu,tak ada rangkaian doa itu, Ibnu Jauza pergi tanpa memberi tahu Nada....
Nada kehilangan, tak mengerti kenapa abangnya pergi begitu mendadak, tanpa sempat memberi kabar, tanpa sempat memberi alasan, sebenarnya ada apa???
Kemudian penjelasan itu datang padanya...ia mengerti sekarang. Ah, sebenarnya hatinya pun remuk mengetahui kenyataan itu, tapi apa mau dikata, semuanya tak mungkin.
Setelah menghilang sekian lama, Ibnu Jauza muncul lagi, dengan membawa sebuah kabar untuk adiknya,,Nada. Lihatlah, mereka masih kikuk seperti dulu, bukan dengan wajah kemerahan, tapi dengan rangkaian perasaan yang sulit digambarkan.
Dan ketika Ibnu mengatakan, “aku mau menikah...” antara senang dan remuk redam, Nada mencoba berdamai dengan hatinya, memang seharusnya begini. Mereka bukan saudara jauh, mereka adalah muhrim, Ibnu adalah paman kandung Nada. Kenapa sampai keduanya tidak tahu? Inilah,,,ketika Ibnu lahir, keadaan ayah dan ibunya sungguh2 sulit, akhirnya Ibnu dirawat orang lain, jauh di seberang. Tujuh tahun kemudian ketika kakak sulung Ibnu tengah mengandung kemenakannya, suami kakaknya meninggal, akhirnya kemenakannya itu pun dirawat orang lain, jauh di seberang.
Dan ketika mereka bertemu pertama kalinya, tak ada yang tahu, mereka adalah kemenakan dan paman. Hingga Ibnu mendengar penjelasan itu dari Eyang sepuhnya...
Nada, tanpa sengaja mengetahui itu semua dari arsip pribadinya yang asli yang disimpan ayah angkatnya, ia langsung mengerti, petunjuk itu jelas sekali.
Hari pernikahan itu pun tiba, Nada menghadiri akad nikah pamannya, ia turut menjadi saksi, sebutir airmata hendak keluar, namun cepat2 ia menghapusnya, “saya harus ikhlas ya Allah...” beruntunglah setelah hari pernikahan itu, Nada disibukkan dengan aktifitas kuliah yang makin menggunung, jadilah hatinya tak seremuk dulu, ini semua takdir, dan ia rela untuk itu, saat ini Nada hanya berharap seorang sholih yang Allah siapkan untuknya, pada masanya nanti....

4 komentar:

Ayomi Albanna mengatakan...

Hehe...tulisan ini aku publikasikan di fesbuk sama di blog.
nggak biasanya...
habis, gara2 fb, nilai narsistku bertambah, produktivitas menulis berkurang,....lho?!
g nyambung ya, daripada ngga ada koment, mending aku koment-in sndri aja blog-q tercinta ini..

Anonim mengatakan...

wuahhhhh, bagus de'.
agak merinding juga bacanya.

Anonim mengatakan...

ternyata lumayan yg ngrespon. hehe.. alhamdulillah, ada kemajuan

Ayomi Albanna mengatakan...

hhee.. semangatt!!