Rabu, 27 Maret 2013

amanah langit

'alaa kulli hal, alhamdulillah :)
ya, apalagi kalau bukan syukur dan sabar? apalagi kalau bukan doa dan tawakal? apalagi kalau bukan ikhtiar dan azzam?
Masyaallah, bahkan setiap pagi dalam kultum-kultum sederhana di rumah ini--hamasah--selalu terucap syukur.. selalu teriring doa keselamatan, meminta pertolongan --almatsurat--
Masyaallah, menyaksikan mereka satu per satu bertumbuh, mengeja alif ba ta..
malu-malu memakai rok nya yg baru, bersusah payah mendobel jilbabnya..
atau diam-diam membeli kaos kaki.. Masyaallah... terimakasih Allah.. semua ini karunia yg ketika mengingatnya selalu membuat mata berkaca, dan sepotong daging di dalam sana meleleh ..
mereka ada yang datang sendiri dengan mandiri, ada yang diantar sekaligus 'dilepas' orang tuanya, beserta pesan dan segala wejangan..juga harapan2..menitipkan..tolong bantu anak saya menjadi lebih baik mbak.. dan hanya bisa mengangguk kaku-berat-dan tercekat...seperti apakah caranya?belum terpikirkan..
hingga satu per satu membuat kami berproses bersama, tumbuh dan berusaha matang menghadapi loncatan-loncatan ujian yang disediakan oleh Nya :-)

Lalu saya melempar kenangan beberapa tahun yang lalu..
pertemuan dg tarbiyah ini..dan terbuka nya jalan ini bagi saya..yang akhirnya mempertemukan dengan banyaaakkk sekali yang membuat hidup makin manis tiada tara :D

Sampai hari ini, kawan sejati itu tetap sama: Al Qur'an.. itulah yang menjadikan hati teguh tetap bertahan, meski malu dan merasa sudah tak pantas..
sampai hari ini, teman sejati itu adalah Al Qur'an.. masyaallah.. sungguh kebersamaan yang nikmat tak terhingga bersama nya.. maka, menangis karnanya (alqur'an) pada rintik hujan adalah moment yang selalu menyenangkan bagi saya.. pun dengan ketika gemetar saya melafadzkan QS.An Nass..berkeringat dingin..malu tak terkira meski segera dilibas oleh sebuah cita-cita tinggi.. bagaimana tidak, kanan kiri menyetor hafalan tengah..saya tertatih memulai dari surah paling belakang, he'eh.. Alhamdulillah 'alaa kulli hal..Allah menjadikan saya berani2 saja untuk memulai (kalau tidak untuk dibilang tak tahu diri, hehe:)
membersamai al qur'an ituah cita2, visi..obsesi.. yang sampai hari ini belum saya temukan semangat yang sama pada Food Technology ^^v semoga jalannya terbuka dari alqur'an.. kan harus terus #berpikir, katanya #ululalbab.. hehe

dan rumah hijau itu, tempat saya lahir di kampus..yang menumbuhkan lagi cinta pada jalan dakwah.. ahad kemaren ada hajatan besar, masyaallah, rindu sekali dengan rumah ini.. sangat :)) tetapi berasa sudah menjadi milik orang lain, eh atau saya yang salah? :(
dan rumah ini tempat saya bertumbuh pun sedang reyot sana sini..semoga hari ini menjadi hari-hari kebangkitannya..saya akan berusaha membayarnya lunas.. Bismillah #entahbagaimanacaranya

dan sore itu, tergugu lah saya dalam roka'at2 waktu masyrik.. "Rabb, bisakah kubeli Surga dengan kecompang campingan amalku ini.. Rabb..bisakah kubeli Surga dg compang campingnya amalku..." T.T

menit2 yang lalu saya asik sekali mengamati wajah-wajah itu, yg telah diamanahkan utk saya antarkan ke tempat semestinya.. mereka adalah amanah.. dan saya selalu berusaha mencintainya sepenuh hati.. #semoga kamu juga segera mencintai studi mu seperti mencintai mereka ya chat.. hahaaa,oke oke (siapa sih barusan yg ngomong :p)

dan kau si kecil...jemput Allah segera, dekap erat teman setia mu itu sayang..al qur'an.. jazakillah, tlah mencintai ku tanpa syarat (hehe)..juga untuk kerelaan, serta 'persiapan'mu atas kepergianku yang tak akan lama lagi :D uhibbukifillah sayang :*

Allah, sampaikan pada dua manusia luar biasa itu..aku selalu dan sedang selalu berusaha membuatnya mulia dunia akhirat, juga di hadapanmu.. Jaga keduanya, ampuni kedua nya, dan jadikan keduanya bahagia Rabb

juga untuk dua manusia diseberang sana yang telah berbeda ruang-waktu.. lapangkanlah tempat yang satu, bahagiakanlah lagi satunya dengan kehidupan barunya..
sampaikan bahwa saya tetap mencintai nya, apapun yang telah terjadi..
saya sungguh mencintai ke-empat-empatnya.. Masyaallah.. uhibbukum fillah abi, umi, ayah, ibu.. miss you all so much :*


Allah tak pernah tidak menolongmu..
Yakini itu saja..
dan ingat: sediakan selalu ruang dihati..untuk dicinta, apalagi dibenci :D
15 Jumadil akhir 1434 H, hamasah

Kamis, 14 Maret 2013

kembali lah

karena itu, kembalilah.
kembalilah memasrahkan segala sesuatunya pada Allah, sembari terus berprasangka baik bahwa selalu ada kemurahan Allah atas setiap kejadian buruk yang menimpa kita, sembari terus berprasangka baik bahwa setiap orang punya caranya sendiri untuk menunjukkan kehambaannya.
(mbak scientia:)
 
 
 
jazakillah khoir..
ah ya, barakallah utk tahun ke 23 nya ya Mbak..
:D

Senin, 11 Maret 2013

membaca

ada greget kesal luar biasa di wajahnya

"kenapa mereka masih seperti anak TK!!"

ada gumpal antara dongkol, sebel, mbatin

"begini banget sieh"

ada selapis kecewa, capek

"kaya ginian mah ketemu ane lagi, nasip"

eh eh eh

luar biasa kesal itu,
gemuruh,

***kebiasaan suka berspekulasi a.k.a berprasangka buruk
astaghfirulloh.. ampuni ya Allah



bahwa syetan punya langkah2 yg jelas, taktis
lakukan apa yg paling Allah suka aja deh
fokus. serius.
kembali pada sunnah, kembali pada sunnah

bintang

setting dan latar:
balon2 sabun beterbangan
kerlap kerlip lampu di kejuhan
bebintang yg di langit gelap
basah bekas hujan, tampias air tampungan
alqur'an, hp, buku, secangkir teh stroberi

bingkai layang-layang tersangkut di kabel listris

rumah rumah berdekatan
angin, desau, dingin

"entah dengan berjalan, berlari, merangkak..kita harus sampai garis finish"

"garis finish nya masih jauh ngga?"

"ngga tau"

"dari jutaan, bahkan milyaran manusia..kenapa aku terlahir"

"kau mempertanyakan kelahiranmu"

"engga, aku cuma pengin tau aja..kok aku bisa lahir"

desau, angin, makin dingin

"dimana emang garis finish nya?"

"disana *senyum*"

"kalau harus melawan arus, membalikkannya agar tercipta gelombang gimana?"

"apa arus itu harus dilawan?"

"iya, agar tercipta gelombang"

desau, desau, desau

semuanya menjadi tak penting lagi
Allah yang Maha Tahu
Jadi, bismillah sajalah
selamanya kita tak mungkin jadi arsitektur langit,
yg membangun jembatan lintas hati
biarkan saja Allah yang menunjukkan jalan pada akhirnya

Jumat, 08 Maret 2013

Re-Imaging Setan dalam Makanan



Memang lezat rawon yang dijual di warung seberang hotel J.W. Mariot, Surabaya, itu. Apalagi menu rawon yang saya pesan : Rawon Buntut. Bumbu dan porsinya pas (kecuali kecambah mentahnya yang dari dulu saya nggak pernah doyan). Saya rasa restoran itu sudah sangat terkenal, terlihat dari penuhnya kursi dengan para tamu dan berbarisnya mobil yang terparkir di depannya. Restoran itu hanya buka di malam hari. Makanya namanyapun sangat beraroma malam : Rawon Setan !!!

Astaghfirullah... hampir saja saya tersedak mengingat namanya. Dan selera makanpun jatuh lunglai. Kenapa harus setan ? Ya, saya baru teringat dengan sejumlah nama restoran dan makanan yang belakangan banyak diembel-embeli kata “setan” : Gado-gado Setan, Nasi Goreng Setan, Bakso Setan, Bakmi Setan, Bebek Setan... Hebatnya, pengunjungnya meningkat sejak menunya bergelar setan. Mungkin karena penasaran, atau mungkin karena memang enak.

Bulu kuduk saya mulai merinding... Saya membayangkan sejumlah orangtua mengajak anak-anaknya makan di restoran bermenu setan-setanan. Mereka makan gado-gado setan dan ternyata enak; mereka makan nasi goreng setan dan ternyata lezat; mereka makan bebek setan dan ternyata lekker. Lalu, akhirnya anak-anak itu dengan lugunya menyimpulkan :

“Bunda, ternyata setan enak ya...”

Ups... sebuah konklusi sederhana yang logis dan sangat masuk akal : setan telah terasosiasi di alam bawah sadar anak sebagai sesuatu yang enak, lezat dan menyenangkan. Ya, mirip iklan-iklan rokok yang dalam jangka panjang mampu menciptakan citra gagah, cowok sejati, setia kawan, kemapanan, kreatif dan sebagainya. Bentuk fisik rokoknya memang tak ditayangkan, namun citra positifnya menjadi investasi jangka panjang di alam bawah sadar pemirsanya.

Tapi... saya rasa koki dan pengelola menu setan-setanan tersebut tak berniat untuk mempromosikan setan. Cuma, setanlah yang membisiki hati para koki dan pengelola restoran untuk menggunakan namanya sebagai brand. Lalu, setanpun membisiki alasan yang masuk akal atas “brand” tersebut : “Jangan terlalu serius lah... Ini cuma  buat lucu-lucuan... Minimal untuk bikin konsumen penasaran, kemudian tertarik untuk mencicipinya...

Huh... Setan sejak dulu selalu begitu :  mengelabui, menyamarkan, berkamuflase. Allah sudah mengingatkan, salah satu dari satanic action adalah ghamudul-haq, alias menyamarkan kebenaran. Kompatriot Iblis ini selalu mengambil jalan pengecut : menelikung dari belakang. Kita tak menyadari kehadirannya, namun mereka menyadari kehadiran kita : “Dia dan pengikutnya melihat kalian dari tempat di mana kalian tak dapat melihatnya” (Q.S. 7 : 27).

Sebuah label telah Allah berikan terhadap kelakukan mereka : Tipu daya – politicking. Dan tampaknya setan sedang menggunakan siasat lamanya untuk melakukan re-imaging lewat makanan. Rupanya setan sedang melakukan strike-back, sebuah serangan balik, terhadap citra buruk yang dilekatkan para penegak kebenaran terhadap kaum mereka. Hehehe... bukan hanya koruptor yang melakukan strike-back. Setanpun ingin belajar dari koruptor. Maklumlah, mereka sejatinya bersaudara...

Dasar setan !!! Atau... sayanya saja yang lagi parno ???

Wallahu ‘alam...


**copas dari notes pak adriano rusfi yg ternyata bapaknya mba asiah kakak tingkat di kampus -___- (kemana aja ket selama ini)
judul asli tulisan: setan re-imaging

Minggu, 03 Maret 2013

DICARI: LELAKI LUQMANUL HAKIM

”Duhai Ananda, usah kau sekutukan Allah.
Sungguh menyekutukan Allah itu aniaya yang besar”


Terbayang kalimat itu mengalir dari bibir lembut seorang ibu, mengajarkan tauhid pada Sang Buah Hati sambil mengusap rambutnya dengan penuh cinta. Terbayang raut wajah teduh keibuan, berbekal sayang bercampur cemas menasihati anaknya yang manja dipangkuan, agar terhindar dari murka Allah.
Tapi tidak. Itu ternyata bukan petuah bunda. Itu ternyata adalah nasihat seorang ayah yang sedang menjalani tanggung jawab kelelakiannya sebagai Muslim untuk mendidik anaknya. Petuah itu mengalun dari hati seorang lelaki sejati bernama Luqmanul Hakim, yang sadar penuh akan titah syari’ah bahwa kelelakiannya bukan hanya untuk membuahi dan mencari nafkah, tapi juga sebagai pendidik.

Lalu, kemana Luqman – Luqman itu kini ? Kemana kaum lelaki dan sang Ayah ketika narkoba mengepung anak-anaknya, ketika putranya tertangkap dalam huru-hara tawuran, atau ketika putrinya positif hamil di luar nikah ? Yang tampak hanyalah para ibu yang tergopoh tunggang-langgang mengemasi beribu masalah dengan kedua tangan halusnya, sementara suaminya duduk manis di beranda menikmati layanan sehabis pulang kerja. Ketika itu para ibu memang memilih untuk tergopoh, tinimbang memikul rasa pilu dihardik suami dituduh tak becus mendidik anak.

Tergopoh mungkin menjadi takdir seorang istri masa kini, ketika Luqman – Luqman hilang entah ke mana. Yang tersisa tinggallah para suami yang telah mendegradasi perannya sebatas pencari nafkah keluarga belaka, sedangkan peran lainnya telah didelegasikan kepada sang istri. Seakan hak seorang lelaki tersaji dari langit begitu besarnya, bahkan hak untuk mendelagasikan tanggung jawab domestik apapun. Karena tampaknya kiprah di dunia publik terasa lebih seksi dan bergengsi.

Ruang publik memang seksi. Terasa lebih lapang dan warna-warni bagi para lelaki yang memang tercipta dengan kaki panjang-panjang. Dan menjadi pencari nafkah lebih menjanjikan martabat, karena segepok uang di saku bisa membeli kepatuhan dan memaksakan ketergantungan orang-orang di rumah. Daya pikat dunia luar rumah itu menggoda, bahkan bagi kaum ibu. Karena bisa menjadi alasan jitu untuk keluar dari kepengapan domestik yang seringkali berakhir tragis, sambil sesekali berjalan di mal-mal membeli harga diri dari uang yang dicari sendiri.

Maka, tersisalah rumah-rumah sunyi dihuni para istri yang ibu rumah tangga, berteman keluh kesah yang terpaksa didengarnya sendiri. Ia mengeluh tentang anak yang keras kepala, atau pornografi yang bersembunyi di kamar tidur, atau tetangga yang gemar bergunjing, atau tentang uang belanja yang makin susut oleh inflasi. Lalu, sang suami membalasnya tak berdaya, ”Gajiku hanya segitu”. Ia memang hanya bisa mengeluh, karena ia tak lagi punya suami yang piawai berdiskusi tentang anak yang masih mengompol atau tentang kenapa harga bawang melambung.

Entah siapa yang mulanya bersalah sehingga lelaki tak lagi menjadi Luqmanul Hakim yang cakap memimpin, mencari nafkah, menjadi suami dan menjadi ayah. Mungkin saja itu bermula ketika lelaki memutuskan untuk mendegradasikan peran tradisionalnya. Atau barangkali ketika majelis ta’lim tak menawarkan kajian kerumahtanggaan kepada kaum ayah. Sementara buku dan seminar tentang keluarga tak menganggap laki-laki adalah pasarnya.

Siapakah yang bersalah ketika seorang suami tak lagi peka membaca kerling kehendak sang istri yang disiratkan dalam kata bersayap khas perempuan ? Majelis Ta’lim angkat bahu, karena ajakannya untuk mengaji kepada para lelaki selalu ditampik atas dalih waktu yang tersita di perburuan nafkah. Lalu siapakah yang bertanggung jawab kala ayah tak lagi bisa menemani keluh anaknya yang ditikam rasa jatuh cinta dengan teman sekelas ? Pengelola seminar dan penerbit bukupun geleng kepala, karena yang selama mereka tahu itu memang urusannya para ibu.

Hanya zaman yang tahu seberapa digdayakah seorang perempuan untuk mengemasi seluruh masalah rumahtangga dengan satu tangan, karena tangan yang satu lagi disibukkan oleh pengabdiannya bagi suami tercinta. Beban berat itu hanya dapat mereka adukan kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena mereka tak dapat mengadu kepada suami yang telah berubah menjadi tuhan-tuhan kecil, tapi tanpa kasih sayang. Pernah mereka mengadukan hasrat untuk bersekolah lagi, tapi tuhan-tuhan kecil itu melarangnya tanpa sedikitpun empati, beralasan bahwa ibadah perempuan ada di dapur. Pernah mereka merayu untuk turut membantu mencari nafkah, namun lagi lagi tuhan-tuhan kecil itu menampiknya, mengutip firman Tuhan Yang Maha Besar bahwa perempuan harus tinggal di rumah.
Tuhan-tuhan kecil itu merasa telah mendapat mandat dari Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, untuk menjadi wakilNya di rumah tangga. Ya, mandat ketuhanan, namun tanpa sifat kasih dan sayang yang justru menjadi akhlaq utama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, jadilah mereka diktator kecil yang memegang firman Tuhan di tangan kanannya, dan tangan kirinya menuding-nuding seisi rumah. Tuhan-tuhan kecil tanpa kasih-sayang ini kemudian membungkam suara-suara kebumian yang merengek dari dalam kamar, menyumpalnya dengan suara-suara langit. Tuhan-tuhan kecil ini minta ditaati secara absolut, berbekal kemampuannya memelintir dan memanipulasi firman Allah yang memang absolut itu.

Tinggallah para orang rumah yang tertindih dan tak dapat mengadu kepada siapapun kecuali Allah. Tragis, karena mereka justru ditindih oleh orang yang Allah ciptakan sebagai teman mengadu. Dan adalah masuk akal jika tragedi yang lahir dari paradoks pada akhirnya akan berbuah keputusasaan. Dan keputusasaan yang tragis akan melahirkan tragedi-tragedi berkelanjutan. Keputusasaan yang hampa itulah yang akhirnya menakdirkan istri-istri yang bunuh diri, ibu-ibu yang membakar anaknya, atau perempuan-perempuan yang berjualan narkoba.

Tapi itu tak sepenuhnya kesalahan para lelaki. Kita, lingkungan dan budaya patriarkhi kita yang feodal tak dapat cuci tangan sepenuhnya, karena kitalah yang telah mendegradasikan peran lelaki hanya sebatas pencari nafkah. Lingkunganlah yang menciptakan para suami yang rasional namun sekaligus miskin emosional dan kepekaan batin. Budayalah yang melahirkan ayah-ayah yang besar kepala, namun kecil hati. Allah, rasul-Nya dan agama sama sekali tak dapat dipersalahkan dan turut bertanggung jawab. Karena titah agama teramat jelas, bahwa lelaki adalah pemimpin, suami, ayah dan teman dalam rumah tangganya. Sedangkan mencari nafkah hanyalah alat bantu untuk menjalankan segala peran dan tanggung jawab itu.
Dunia domestik memang tak mudah. Dan itulah yang membuat para suami, istri dan anak-anak berlomba dan berpacu untuk meninggalkannya, masuk ke dunia publik yang lebih menggairahkan dan penuh penghargaan. Dunia domestik adalah dunia tanpa pujian, publikasi dan penghargaan, sehingga hanya manusia-manusia tulus yang mengidamkan ridha-Nyalah yang akan sanggup bertahan di dalamnya. Dunia domestik itu rutin, monoton dan tanpa imbalan, yang modal dasarnya adalah keikhlasan. Sementara, dunia telah menyebabkan para lelaki menjadi terlalu maskulin, profesional, pragmatis dan publikatif.

Padahal, nun di Madinah sana lima belas abad silam, ketika Allah menurunkan ayat-ayat khusus untuk perempuan, ketika turun ayat ayat tentang rumah tangga dan pendidikan anak, Rasulullah SAW justru mengumpulkan para lelaki di masjidnya. Beliau sampaikan isinya dan beliau jelaskan maksudnya.. Lalu pada akhirnya beiau bersabda, ” Pulanglah kalian, dan sampaikanlah kepada istri-istri dan anak-anak perempuan kalian”. Beliau, Shalallahu ’alaihi wassalam, adalah suami yang menumbuk tepung, mencuci pakaian dan tahu cara menyenangkan istri-istrinya.

Adalah kita yang harus memulai perubahan dan melahirkan kembali Luqmanul Hakim – Luqmanul Hakim yang baru. Khutbah-khutbah Jum’at perlu membahas tentang menjadi suami. Kantor-kantor tempat lelaki mencari nafkah perlu mengadakan kajian kerumahtanggaan. Masjid-masjid pasar tempat sang ayah berdagang perlu berceramah tentang pendidikan anak. Seminar-seminar komersial dan para penerbit buku perlu peduli dengan tema lelaki dan rumah tangga.

Kita yang akan mengubahnya.

seutuhnya copas: Adriano Rusfi, Psikolog, Konsultan SDM & Pendidikan