وَمَنْ سَارَ عَلَى الدَّربِ وَصَلَ
Man saara ‘alad-darbi washal
“dan siapa yang melangkahkan kaki diatas jalan. Meskipun pelan atau
lambat, asal terus melangkah insya Allah kita akan mencapai tujuan”
Allaahu Akbar…
Dalam mensikapi program atau kerja atau target. Atau dalam mensikapi
satu masalah yang muncul. Ada beberapa opsi atau beberapa sikap. Ada
yang bersikap seperti yang diceritakan dalam surat at-taubah. Yang belum
apa-apa sudah memandang bahwa apa yang akan dijalani itu jauh dan
berat. Diceritakan oleh Alqur’anul Kariim.
{لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ } [التوبة: 42
Ada yang belum apa-apa, pikirannya adalah terlalu jauh, ini terlalu
sulit. Padahal jauh dan sulit itu hanyalah perasaan saja. Karenanya
ayatnya mengatakan : “wa laakin ba’udat ‘alaihim asy-syuqqah”. Kata
Allahu Yarham ust. Rahmat Abdullah, ayatnya mengatakan “ba’udat
‘alaihimus syuqqah” bukan “ba’udatisy-syuqqah ‘alaihim”. Kalau tadabbur
beliau “ba’udatisy syuqqah ‘alaihim” itu jauh secara waqi’iy dan
realitanya jauh. Tapi kalau “ba’udat ‘alaihim asy-syuqqah” itu artinya
jauh dan berat di perasaan saja. Yang pada hakikatnya tidaklah jauh dan
tidaklah berat. Itu masalah pensikapan. Dan saya mengutip beliau lagi,
kalau memang itu masalah pensikapan jiwa dan perasaan kita. Maka
solusinya adalah apa yang Allah firmankan di surat albalad. Allah
berfirman ;
{فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13)} [البلد: 11 - 13
Rintangan yang dianggap jauh, rintangan yang dianggap berat itu
sebenarnya perasaan saja. Perasaan kita, kondisi kejiwaan kita. Maka
solusi qur’an terhadap masalah itu adalah ‘aqabah yang biasa diartikan
bukit. Itu bukan di daki tapi ‘aqabah itu mesti ditabrak.
Oleh karena itu ikhwati fillah, perasaan-perasaan berat, sulit. Solusinhya adalah kita mesti tabrak itu bukit. Allaahu Akbar…
Makanya ayatnya mengatakan, “Falaqtahamal ‘aqabah”,
demi Allah hendaklah
manusia itu menabrak aqabah tersebut. Lalu Allah jelaskan bahwa
perasaan yang berat yang mesti ditabrak itu, yang paling utama adalah
berkenaan dengan masalah kesiapan kita untuk berkorban dan untuk
berjuang. Terutama adalah at-tadlhiyyah bil maal. Karenanya lanjutannya
adalah “fakku raqabah aw ith’aamun fii yaumin dzii masghabah. Yatiiman
dzaa maqrabah aw miskinan dzaa matrabah”.
Ikhwati wal akhwati fillah,
Itu satu sikap kejiwaan, mensikapi tanggung jawab atau mas-uliyah yang kita lakukan.
Ada sikap lain yang diungkapkan oleh pribahasa arab juga. Begitu dia
sadar bahwa tanggung jawab atau mas-uliyahnya besar. Tapi ada yang
keliru dalam mensikapi.
Dia ingin segera selesai dari tanggung jawab
itu. Ingin cepat-cepat menyelesaikan apa yang menjadi tanggung
jawabnya. Maka yang dia lakukan adalah Dia memacu kendaraan atau
fasilitas atau daya dukung yang dia miliki diluar kemampuan yang
dimiliki. Tapi akibatnya:
فَإِنَّ مُنْبَثًّا لَا عَرْضًا قَطَعَ وَ لَا ظَهْرًا عَبْقَى
Bahwa orang yang memaksa-maksakan diri. Ceritanya adalah seseorang
menempuh perjalanan jauh. Melewati padang pasir, menunggang seekor
kuda. Karena dia ingin segera sampai dan ingin segera istirahat. Maka
kuda itu dipacu diluar sampai batas maksimal. Bahkan diluar kemampuan
kuda tersebut. Akhirnya di tengah jalan kudanya mati, dia pun tidak
lama lagi mungkin juga akan menyusul mati. “laa ‘ardhan qatha’a”. jarak
tempuh yang hendak dilalui itu tidak sampai. “walaa zhahran ‘abqaa” dan
kendaraannya pun mati. Itu sikap yang tidak tepat. Sikap
terburu-buru, memaksakan diri, dalam arti melampaui batas yang mungkin
kita bisa lakukan.
Tetapi sikap yang benar adalah
“wa man saara ‘aladdarbi washola”. Apa
yang menjadi mas-uliyah kita , kita jalanin saja. Sedikit demi sedikit,
pelan tetapi pasti dan tidak pernah berhenti. Jadi terus melangkah,
terus berjalan. Manakala kita jalan, In syaa Allaah man saara ‘alad
darbi washala”.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah.
Dalam masalah ini “lanaa fi rasulillaahi shallaahu ‘alaihi wasallam
uswatun hasanah”. Kita mempunyai uswah atau keteladanan dari Rasul kita
Muhammad saw sebagaimana difirmankan dalam surat al ahzab ayat 21-22.
Dan ayat 21-22 yang biasa kita pakai untuk menjelaskan bahwa Rasulullah
teladan kita. Oleh Allah SWT aspek keteladanan Rasulullah saw, cerita
ayatnya ditempatkan di tengah-tengah suasana perang ahzaab. Bahwa
seakan-akan makna spesifiknya adalah saat kaum muslimin ketika
menghadapi situasi atau kondisi yang seperti perang ahzab. Maka teladan
yang baik dalam mensikapi itu adalah Rasulullah saw. Meskipun ayat
tersebut berlaku untuk segala bentuk sisi-sisi keteladanan Rasulullah
saw. Tapi penempatannya di tengah-tengah cerita perang ahzab
menggambarkan bahwa khususnya saat kita menghadapi situasi dan kondisi
seperti yang terjadi di dalam ahzab tsb.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا} [الأحزاب: 21
Ikhwan dan akhwat yang dimuliakan Allah swt.
Alqur’anul karim saat bercerita tentang ahzab ini. Menggambarkan bahwa
sikap yang di capture oleh Allah SWT itu ada berbagai macam. Ada yang
digambarkan oleh Allah SWT dengan istilah almunafiqun walladziina fii
qulubihim maradh. Saat terjadi berita tentang ahzab ini ternyata ada
kelompok yang oleh ayat ini disebut dengan istilah “almunaafiquuna
walladziina fii quluubihim maradh”. Allah berfirman :
وَإِذْ
يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا
وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا} [الأحزاب: 12
Orang munafik itu berkata bahwa semua yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Semua yang dijanjikan oleh Rasulullah saw. Itu hanyalah tipuan belaka.
Ikhwan dan akhwat yang dimuliakan Allah SWT.
Yang perlu kita bangun ditengah suasana seperti sekarang ini adalah
bahwa masa depan itu adalah untuk Islam, almustaqbal li haadzad diin.
Allaahu Akbar…
Sebagaimana pernah ditulis oleh Sayyid Qutbh rahimahullah. Atau “Al
Islam wal mustaqbalul basyariyah”, islam dan masa depan umat manusia.
Sebagaimana pernah ditulis oleh Abdullah Azzam rahimahullah. Atau yang
ditulis oleh DR. Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Mubasysyiraat bi
intishaaril Islaam”. Bahwa masa-masa yang akan datang adalah semuanya
memberi berita gembira tentang kemenangan Islam. Oleh karena itu spirit
istibsyaar, merasa mendapatkan berita gembira bahwa kita akan menghadapi
intishaaril Islaam di masa yang akan datang itulah yang harus kita
bangun pada diri kita sekarang ini. Jangan menjadi seperti almunaafiquun
dan alladziina fii quluubihim maradh. Yang mengatakan “Maa
wa’adanallaahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”.
Sirah menceritakan bahwa menjelang perang ahzab terjadi saat kaum
muslimin menggali parit. Ada bagian dari parit itu berupa batu besar
yang tidak bisa digali. Dan kalau itu tidak digali artinya menjadi titik
lemah pertahanan kaum muslimin. Singkat cerita akhirnya
Rasulullah sendiri turun tangan dan memukul batu besar itu dan saat
batu tersebut dipukul keluar cahaya. Dan Rasulullah kemudian bersabda
“futihat kunuzusy Syaam. Futihat kunuuzul kisra”. Bahwa kunuuz,
gudang-gudang kekayaan, materi yang ada di syam dan yang ada di Persia
telah dibuka oleh Allah SWT untuk diberikan kepada kaum muslimin.
Allaahu Akbar…
Tetapi setelah perang benar-benar terjadi, orang-orang yang disebut
al-munafiqun dan alladziina fii quluubihim maradh. Karena perangnya
sangat dahsyat meskipun tidak terjadi adu fisik. Tapi sangat melelahkan,
karena dikepung. Pada waktu itu belum turun syariat shalat khauf,
sehingga kaum muslimin tidak sempat shalat zhuhur pada waktunya, tidak
sempat shalat ashar di waktunya dan tidak sempat shalat maghrib di
waktunya. Dan shalat zhuhur, ashar, maghrib , isya baru dilaksanakan
sekaligus pada waktu isya. Waktu itu belum ada shalat khauf.
Situasi yang sulit ini direspon oleh ayat itu.
Yang disebut
almunaafiquun walladziina fii quluubihim maradh. Mereka mengatakan,
“boro-boro kita mendapatkan kunuuzusy-syaam. Boro-boro kita mendapatkan
kunuuzul kisra. Mau kencing saja kita tidak sempat”. Memang orang-orang
al-munafiquun walladziina fii quluubihim maradh urusannya adalah urusan
makan dan keluar setelah makan. Dan itulah yang digambarkan dengan
istilah, “maa wa’adallahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”.
Tetapi sebagai kebalikan sikap ini digambarkan di ayat 22 adalah :
{وَلَمَّا
رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا
إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا} [الأحزاب: 22
Tetapi bagi orang-orang beriman. Kondisi yang sulit seperti itu justeru
menjadi berita gembira. Orang beriman logikanya sederhana. Memang
sekarang kita berada di jam 3 misalnya masih siang. Tiga jam lagi nanti
masuk waktu maghrib, mulai gelap. Setelah ditunggu bukan semakin terang,
semakin gelap. Karena memasuki waktu isya. Dan semakin ditunggu bukan
semakin terang, semakin bertambah gelap. Dan semakin ditunggu wakatu
itu semakin bertambah gelap. Tapi bagi orang beriman, begitu waktu itu
semakin gelap pertanda tidak lama lagi akan datang fajar. Allaahu
Akbar…
Mungkin kita kemarin merasa bahwa kita sudah berada di tempat yang
gelap. Setelah kita bekerja, kita tunggu bukannya semakin terang tapi
malah semakin gelap. Tapi kita terus bekerja lagi dan kita tunggu lagi.
Bukannya semakin ringan tapi malah semakin gelap. Kondisi seperti itu
–ikhwati fillah- justeru bagi kita sebagai pejuang dan aktivis harus
semakin yakin bahwa justeru itulah janji Allah semakin dekat. Sebab “A
laisa shubhu bi qarib”. Dan memang kalau malam-malam semakin gelap
begitu, yang perlu kita ingat adalah surat albaqarah ayat 187. Allah
SWT berfirman:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187
Supaya tidak capek nunggunya. Allaahu Akbar….
Maksudnya supaya jangan terlalu. “ini kok semakin gelap ditunggu”.
Ikhwan dan akhwat fillah yang dimuliakan Allah SWT.
Ada juga kelompok dalam situasi seperti ahzab itu yang oleh ayat disebut
dengan istilah thaa-ifah dan fariiqun. Allah berfirman :
وَإِذْ
قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ
فَارْجِعُوا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ
بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا
فِرَارًا (13) وَلَوْ دُخِلَتْ عَلَيْهِمْ مِنْ أَقْطَارِهَا ثُمَّ
سُئِلُوا الْفِتْنَةَ لَآتَوْهَا وَمَا تَلَبَّثُوا بِهَا إِلَّا يَسِيرًا
(14) وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّونَ
الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُولًا (15) قُلْ لَنْ
يَنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ إِنْ فَرَرْتُمْ مِنَ الْمَوْتِ أَوِ الْقَتْلِ
وَإِذًا لَا تُمَتَّعُونَ إِلَّا قَلِيلًا (16) قُلْ مَنْ ذَا الَّذِي
يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ
رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا
نَصِيرًا (17)} [الأحزاب: 13 - 17
Ikhwan dan akhwat fillah yang dimuliakan Allah SWT.
Jangan sampai kita masuk dalam kategori al munafiqun atau dalam kategori
alladziina fii qulubihim maradh. Yang memahami situasi dan kondisi
dengan pemahaman yang salah. Lalu berkesimpulan salah, mengatakan “maa
wa’adallahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”. Tapi juga jangan sampai kita
menjadi seperti yang digambarkan dengan istilah thaa-ifah dan yang
digambarkan dengan istilah fariiqun ini. Bagaimana itu? Begitu suasana
ahzab itu semakin mencekam, semakin mengerikan dan semakin menakutkan.
Sebagian dari mereka itu (dari kaum muslimin maksudnya) ada yang mulai
mencari-cari cara untuk bisa menghindar dari tanggung jawab dan tugas.
Digambarkan :
{وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا} [الأحزاب: 13
Sia-sia saja kalian berada di tempat ini. Tidak ada gunanya berjuang,
karena buang-buang waktu, buang-buang tenaga, buang-buang potensi. Oleh
karena itu “farji’uu”, kita pulang sajalah. Nggak usah dilanjutkan
perjuangan ini sampai selesai.
Jangan sampaai kita masuk seperti ini dan juga jangan sampai masuk seperti yang digambarkan:
{وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ } [الأحزاب: 13
Yang mulai cari-cari alasan. “afwan urusan saya ini, apakah pekerjaan
saya atau urusan rumah tangga saya, atau urusan karir saya menuntut
perhatian khusus. Menuntut ihtimam khaash. Oleh karena itu saya minta
izin sekarang untuk pulang dulu”.
Padahal ;
{وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا} [الأحزاب: 13
Jangan sampai kita masuk di situ. Ikhwati fillaah… Allaahu Akbar…
Kenapa? Karena
{وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ} [الأحزاب: 15
Kita sudah bermu’ahadah dan berbaiat untuk terus berjuang. Dan komitmen
kita adalah fil mansyath wal makrah. Mansyath artinya saat situasinya
enak, bendahara kasnya juga tebal, citra kita juga bagus. Kita
bershilaturahim semuanya menyambut “ahlan wa sahlan”. Bahkan ada yang
menyambutnya seperti syaikha madyan. Saat Nabi Musa mengatakan, “innii
uriidu an unkiha ihda ibnatai”. Itu kalau lagi mansyath oke. Tapi
komitmen kita, mua’ahadah kita adalah fil makrah. Saat suasananya sangat
tidak mendukung, saat tidak menyenangkan. Citra lagi terpuruk, kita
bolak-balik datang ke bendahara. Kata bendahara, “Maa laisy, in syaa
Allaah ghadan”. Jawabannya selalu “maa lays”. Itu makrah. Juga sambutan
tidak menyenangkan kalau kita datang. Tapi komitmen kita adalah kita
tetap harus bekerja dan berjuang fil mansyath wal makrah. Allaahu
Akbar…
Bahkan dalam riwayat sirahnya itu ada tambahan kata-kata lagi. Yang
dikita ini ma’mum walaupun tidak disebutkan yaitu wa fii aatsaratin
‘alainaa. Dan termasuk kita tetap harus berjuang meskipun perjuangan
itu menuntut dan mengorbankan hak-hak pribadi kita, hak-hak personal
kita. Oleh karena itu jita tetap lanjutkan komitmen ini. Dan jangan
sampai masuk kategori yang disinggung oleh Allah SWT dengan istilah ;
وَيَسْتَأْذِنُ
فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا
هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا} [الأحزاب: 13
Ikhwati fillah
Juga jangan sampai dalam keadaan dan situasi yang seperti sekarang ini.
Kita masuk kepada apa yang disinggung Allah SWT dalam surat al ahzab
ayat 18. Yang Allah berfirman;
قَدْ
يَعْلَمُ اللَّهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنْكُمْ وَالْقَائِلِينَ
لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا
قَلِيلًا (18) أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ
يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ
مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ
أَشِحَّةً عَلَى الْخَيْرِ أُولَئِكَ لَمْ يُؤْمِنُوا فَأَحْبَطَ اللَّهُ
أَعْمَالَهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (19)} [الأحزاب: 18، 19
Jangan sampai kita termasuk al mu’awwiquun. Almu’awwiquun ini, mohon
maaf kalau saya menggunakan istilah jawa. saya merasa terjemahan jawa
paling pas mewakili perasaan saya.
Almu’awwiquun itu artinya tukang
cerimpungi. Mu’awwiquun itu menggambarkan bahwa dalam suasana seperti
ahzab itu masih banyak yang bekerja, terus bekerja. Dan bekerja itu
pasti menggerakkan kakinya. Ada orang yang tidak bekerja dalam arti
berbuat tapi kerjanya adalah nyerimpung. Nyerimpung itu dua kaki,
memasukkan kakinya diantara dua kaki. Sehingga saat berjalan, yang
bekerja jatuh. Itu namanya nyerimpung, bahasa indonesianya saya tidak
tahu. Allaahu Akbar…
Ikhwati-akhwati fillah,
Dalam suasana seperti sekarang ini begitu. Mungkin muncul sifat-sifat
seperti itu, -na’udzubillahi min dzaalik-. Saat kita mendorong para
kader ikhwan-akhwat bekerja, muncul orang-orang yang kerjanya
menyerimpungi yang bekerja itu. Supaya yang bekerja itu jatuh,
Laa haula
wa laa quwwata illaa billaah. Jadi jangan sampai kita masuk ke dalam
itu. Dan Allah mengancam mereka yang mu’awwiquun. Allah SWT berfirman
;
قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنْكُمْ
Meskipun “qad” disini masuk fi’il mudhari’ tapi maknanya tetap fi’il maadhi.
Sungguh Allah telah mengetahui mereka-mereka yang masuk kategori al-mu’awwiquun. Dan juga masuk kategori :
وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا قَلِيلًا
Oleh karena itu ikhwati-akhwati fillah. Justeru ketika kita melihat
saudara kita bekerja, kita memberikan support dorongan agar semakin
meningkatkan kerjanya. Jangan justeru malah nyerimpungi tadi. Nah,
setelah Allah SWT menceritakan tentang perilaku yang tidak tepat ketika
menghadapi keadaan seperti al ahzab itu. Lagi-lagi saya mengawali di
bagian awal tadi, mengulang. Sikap yang benar adalah seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW dan juga orang-orang beriman.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21) وَلَمَّا
رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا
إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22) } [الأحزاب: 21، 22
Saat kaum muslimin mendengar informasi bahwa telah terjadi pembentukan
pasukan koalisi untuk menyerang madinah. Jumlah pasukan koalisi itu
sendiri, seandainya mereka berhasil memasuki kota madinah, niscaya tidak
akan menyisakan apapun di Madinah. Karena sepuluh ribu itu lebih besar
dari total seluruh penduduk madinah. Termasuk perempuan dan anak-anak.
Bisa dibayangkan begitu mendengar berita seperti ini. Waktunya sangat
mendesak dan mepet. Tetapi dengan prinsip “wa man saara ‘alad darbi
washal” tadi. Rasulullah kemudian melakukan musyawarah. Dalam
musyawarah itu disepakati bahwa cara bertahan yang baik adalah dengan
menggali parit di posisi yang kemungkinan besar disitu musuh akan
menyerang. Nah, kebetulan secara topografi, madinah itu sebelah barat
dan timur itu terdiri dari perbukitan yang tidak mungkin dilalui.
Perbukitan yang sangat terjal tidak mungkin dilalui oleh pasukan. Yang
disebut dengan istilah alharratan. Harrah itu artinya batu yang
tebingnya sangat tinggi, terjal dan sulit dipanjat atau sulit diterjuni.
Itu ada dua.
Kemudian di bagian selatan itu adalah kebun-kebun korma yang sangat
rapat dan perkampungan orang-orang yahudi. Karena kebun korma sangat
rapat banyak pohon, musuh kemungkinan besar tidak masuk lewat situ.
Karena mereka akan takut, dibalik setiap pohon itu ada pasukan yang siap
menanti mereka. Yang sisanya terbuka adalah bagian utara. Bagian utara
terbuka dan disitulah berdasarkan hasil musyawarah akhirnya dibuat
parit. Kaum muslimin dibagi-bagi tugas. Setiap sepuluh orang
diperintahkan untuk menggali parit sepanjang 40 dziraa’ atau 40 hasta.
Waktu musim dingin, waktu itu juga musim paceklik, tidak banyak
makanan. Tetapi situasi dan kondisi seperti itu harus terus dihadapi
dengan penuh ketabahan, dijalani, mereka tetap menggali dari pagi
hingga sore dalam keadaan tidak mendapatkan makanan dan dalam keadaan
udara yang sangat dingin. Dan mereka terus menggali sehingga sebelum
musih benar-benar tiba. Penggalian parit itu telah benar-benar selesai.
Dan karena pertahanan gaya parit itu tidak pernah dikenal oleh orang
arab. Dan mereka juga tidak mendapatkan bocoran tentang hal itu. Begitu
pasukan datang, mereka dikejutkan adanya parit dan tidak bisa berbuat
apa-apa. Itulah gambaran dari mensikapi situasi dan kondisi.
Jalani
saja, lakoni saja, kerja terus, tidak pernah berhenti. Insya Allah wa bi
idznillaah kalau kita tunjukkan kepada Allah kerja dan semangat kerja
seperti ini. Maka Allah akan memberikan pertolongan kepada kita
semuanya. Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin. Itu yang bisa saya sampaikan
semoga ada manfaatnya.
Aquulu qauli hadzaa was taghfirullaha walakum
Wassalamu’alaikum wr.wb.
sumber